Bagansi-api-api, 28 September 2011
Rajabejamu merupakan salah satu desa (disebut juga kepenghuluan) pesisir di Kecamatan Sinaboi Kabupaten Rokan Hilir Provinsi Riau. Sumberdaya wilayah pesisir yang paling dominan adalah hutan mangrove. Pada saat ini, hutan mangrove wilayah ini mulai terancam utamanya pemanfaatan kayu, baik untuk material bangunan maupun untuk material bahan baku kapal.
Akan tetapi, tata letak wilayah, daerah ini memiliki potensi untuk dikembangkannya konsep rehabilitasi mangrove karena pantai di sepanjang wilayah ini mengalami pendangkalan.
Kegiatan Sosialisai Pengendalian Kerusakan Pesisir diselenggarakan oleh Badan Lingkungan Hidup Provinsi Riau di Kantor Desa Rajabejamu, dihadiri oleh masyarakat desa setempat, Pemerintah Desa, dan Pemerintah Kecamatan. Narasumber kegiatan sosialisasi ini adalah Bapak Ir. Safrudin (BLH Provinsi Riau) dan Miswadi, SPi (Yayasan Laksana Samudera). Dalam penyampaianya, lebih menitikberatkan pada penyuluhan kepada masyarakat agar mampu menjaga, melindungi dan mengelola dengan benar kawasan hutan mangrove desa ini agar mampu berperan sesuai dengan fungsi-fungsinya, terutama menyikapi isu abrasi yang menjadi isu nasional saat ini.
Disampaikan lagi bahwa hutan mangrove sebagai sumberdaya alam bukan merupakan warisan akan tetapi lebih kepada titipan anak cucu. Kenapa dikatakan sebagai titipan? Perbedaan sederhana dengan bahasa yang mudah dipahami adalah kalau warisan dapat berkurang, namun kalau titipan harus utuh. Dengan demikian karena hutan mangrove ditekankan sebagai titipan, maka generasi sekarang harus mampu menjaganya agar utuh diterima oleh generasi berikutnya.
Di lain sisi disampaikan bahwa konsep pemberdayaan masyarakat dalam konservasi hutan mangrove selalu mengalami jalan buntu tatkala masyarakat menuntut insentif atau keuntungan ekonomi secara langsung yang harus mereka terima pada saat mereka diharuskan melakukan konservasi. Akhirnya seringkali konservasi berjalan jika berbentuk proyek. Tatkala proyek berakhir maka gerakan konservasi yang dilakukan masyarakat juga ikut berakhir. Gerakan konservasi tidak mampu berkelanjutan. Hal inilah yang harus dicarikan solusi terbaiknya.
Sederhananya bahwa hutan mangrove terancam rusak karena pemanfatan pada jenis kayu dari mangrove itu sendiri. Pemanfaatan kayu tersebut biasanya untuk bahan baku panglong arang, kayu bakar dan cerocok (materil bangunan). Hingga saat ini pemanfaatan untuk cerocok masih tetap tinggi karena pembangunan di daerah pesisir tetap menggunakan cerocok dari kayu bakau untuk alas pondasi mengingat kondisi tanah yang labil.
Sementara himbauan bahkan keharusan bagi masyarakat untuk berhenti menebang bakau belum ada solusi tepat terhadap masyarakat yang bergantung hidup pada sumberdaya hutan mangrove itu sendiri.
Konsep sederhana yang coba ditawarkan adalah dengan berkebun bakau untuk tanah-tanah milik masyarakat yang berpotensi ditanami jenis mangrove. Sehingga pemanfaatan tidak lagi di kawasan jalur hijau ataupun daerah kelola yang mesti dilestarikan akan tetapi sudah pada kepemilikan yang setidaknya sah dan legal. Mampukah ini dilakukan? Kerjasama semua stakeholder untuk mewujudkannya sangat diperlukan, utamanya dalam hal regulasi peraturan perundang-undangan. Di Rajabejamu sendiri, potensi yang tampak adalah bagaimana mampu menumbuhkan mangrove pada kawasan yang mengalami pendangkalan. Diharapkan masyarakat melalui kelompok-kelompok yang nantinya mampu terbentuk dapat melakukan ide-ide ini dan yang terpenting mampu menyampaikan ide ini kepada Pemerintah Daerah Kabupaten Rokan Hilir agar mampu difasilitasi kedepannya.
Pengelolaan terhadap hutan mangrove di tingkat Provinsi dan Kabupaten/Kota dalam rangka isu abrasi, setidaknya bukan hanya menjadi agenda Badan Lingkungan Hidup. Akan tetapi haruslah ada kerjasama konkrit antar instansi terkait seperti Dinas Kehutanan dan Dinas Kelautan dan Perikanan, yang memiliki kepentingan yang cukup besar terhadap hutan mangrove itu sendiri. (miswadi)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar