Pages

Senin, 07 Mei 2012

BANJIR DI PERKOTAAN
disusun oleh: Miswadi, Gusnan Suryadi, Muhibbin Annas, dan Sugeng Abriyanto
Environmental Science - Riau University, PEKAN
BARU 2012


I. PENDAHULUAN
Setiap tahun masalah banjir selalu terjadi di berbagai penjuru Indonesia. Mulai dari ujung Sumatera hingga Papua, dari wilayah terpencil hingga ibu kota negara. Secara geografis, wilayah Indonesia memang dikelilingi oleh air. Di Pulau-pulau Indonesia terdapat banyak sungai besar dan kecil, danau, dan telaga. Disamping itu, terdapat lautan dan samudera yang mengelilingi wilayah Kepulauan Indonesia. Kondisi geografis seperti ini sebenarnya tidak serta-merta menjadikan masalah banjir sebagai sesuatu yang pasti terjadi.
Banjir dan permasalahannya sangat terkait erat dengan sumberdaya tanah dimana tanah sebagai sumberdaya mempunyai makna satuan dan ukuran yang nyata dan konkrit di dalam hal ini dapat berupa kesuburan, volume (ton), dan luasan (hektar). Keberadaan luasan tanah sebagai sumberdaya di wilayah Jakarta mempunyai nilai luasan yang tetap yakni ± 650 km2, sedangkan jumlah penduduk yang mendiami dan menetap di wilayah ini setiap tahunnya bertambah berdasarkan deret ukur, di mana pertambahan penduduk rata-rata 2,85% per tahunnya (BPS dalam Tambunan, 2011).
Perkembangan penggunaan lahan perkotaan selalu diiringi dengan peningkatan jumlah penduduk, aktifitas dan kebutuhan lahan, baik untuk permukiman maupun kegiatan ekonomi. Karena keterbatasan lahan di perkotaan, terjadi intervensi kegiatan perkotaan pada lahan yang seharusnya berfungsi sebagai daerah konservasi dan ruang terbuka hijau. Akibatnya, daerah resapan air semakin sempit sehingga terjadi peningkatan aliran permukaan dan erosi. Hal ini berdampak pada pendangkalan (penyempitan) sungai, sehingga air meluap dan memicu terjadinya bencana banjir, khususnya pada daerah hilir.
Selain itu, masalah permukiman liar di sepanjang sungai dan budaya masyarakat yang memposisikan sungai sebagai tempat pembuangan (limbah dan sampah) juga menyebabkan kondisi sungai tidak terpelihara.
II. PEMBANGUNAN DAN PERUBAHAN LAHAN
Banjir di Kota Jakarta akan terus terjadi karena pemerintah telah salah urus dalam mengelola sumberdaya dan penataan ruang kota. Masterplan Kota Jakarta 1965-1985 telah menetapkan daerah timur Jakarta termasuk Kelapa Gading dan barat Jakarta termasuk wilayah Angke masuk dalam lahan hijau. Tetapi pada rencana induk 1985-2005 peruntukan lahan hijau tersebut tidak ada lagi (Rosiyadi, 2011).
Tambunan (2011) mengemukakan bahwa pertumbuhan kota yang sangat pesat dan kurang sesuai dengan perencanaan semula tersebut telah merubah rasio antara daerah konservasi dan daerah perkotaan yang kedap air di hulu daerah tangkapan air pada sungai-sungai yang mengalir ke Jakarta. Pembangunan ini akan secara langsung menciptakan aliran banjir lebih tinggi yang akan menimbulkan permasalahan banjir.
Selanjutnya Tambunan (2011) menyampaikan bahwa akibat pertambahan luas dan persebaran penggunaan lahan terbangun yang kedap air diantarnya permukiman penduduk dan fasilitasnya pada saat hujan intensitas lebat, maka air hujan sebagai air limpasan permukaan tidak dapat masuk (perkolasi) ke dalam tanah karena tanah telah diperkeras oleh semen dan aspal di bentuklahan aluvial. Sehingga air sungai meluap melewati tanggulnya dan mengalir ke bagian topografi rendah dan datar di dataran banjir, rawabelakang, dan dataran aluvial sebagai bentuklahan banjir. Permukiman masyarakat yang menetap pada permukiman kumuh, dan gubuk-gubuk liar di sepanjang dataran banjir di 14 aliran sungai.
Daratan sungai sebagai dataran banjir dipergunakan untuk bangunan rumah. Kondisi ini mengurangi daerah resapan air dan penahan air, serta terjadi penyempitan bantaran sungai. Keberadaan bangunan rumah dan fasilitasnya bila hujan besar dapat menyebabkan aliran air pada permukaan tanah terhambat ke saluran air, dan meluap pada sungai. Kejadian ini mengakibatkan banjir lebih meluas dan lama.
Untuk penggunaan lahan di Kota Jakarta dan peruntukkannya, disajikan pada tabel berikut.
Tabel 1.   Penggunaan lahan di wilayah DKI Jakarta (Tambunan, 2011)

Provinsi DKI Jakarta dengan luas ± 65.323 Ha, dengan penggunaan lahan berupa lahan terbangun, lahan basah, dan lahan pertanian yang beragam keruangan dan temporal baik jenis, luasan dan penyebarannya. Pada tahun 1996, penggunaan lahan di Provinsi DKI Jakarta yang dominan berupa lahan terbangun 42.108,09 Ha (64,5%) dimana jenis penggunaan lahan terbangun yang terluas yaitu lahan permukiman. Luasan lahan permukimam 34.521 Ha atau 82% dari total luasan lahan terbangunnya. Kemudian penggunaan lahan pertanian 18.535,73 Ha atau 28,4% dan terakhir berupa luasan terkecil pada penggunaan lahan basah 4.679,27 Ha atau 7,2% dari total luasan provinsinya.
Pada tahun 2002, memiliki pola sama dengan penggunaan penggunaan lahan di Provinsi DKI Jakarta 1996. Penggunaan lahan yang dominan berupa lahan terbangun 44.160,98 Ha (67,6%) dimana jenis penggunaan lahan terbangun yang terluas yaitu lahan permukiman. Luasan lahan permukimam 40.063 Ha atau 90,7% dari total luasan lahan terbangunnya. Diikuti oleh penggunaan lahan pertanian 15.246,81 Ha (23,3%) dan terakhir berupa luasan terkecil pada penggunaan lahan basah 5.915,21 Ha atau 9,1% dari total luasan provinsinya.
Pada tahun 2007, memiliki pola sama dengan penggunaan penggunaan lahan di Provinsi DKI Jakarta 1996 dan 2002. Penggunaan lahan. yang dominan berupa lahan terbangun 49.647,77Ha (76%) dimana jenis penggunaan lahan terbangun yang terluas yaitu lahan permukiman. Luasan lahan permukimam 41.695 Ha atau 84% dari total luasan lahan terbangunnya. Diikuti oleh penggunaan lahan pertanian 14.645,99 Ha (22,4%) dan terakhir berupa luasan terkecil pada penggunaan lahan basah 1.029,25 Ha atau 1,58% dari total luasan provinsinya.
Dalam periode lima tahun pertama (1996-2002) di Provinsi DKI Jakarta, terjadi perubahan penggunaan lahannya secara kuantitas. Ada penambahan lahan terbangun seluas 2.052,89 Ha, lahan permukiman 5.542 Ha, dan lahan basah 1.235,94 Ha. Ada penurunan luasan penggunaan lahan pertanian 3.288,92 Ha menjadi lahan terbangun dan lahan basah sebagai parkir air pada saat hujan.
Periode lima tahun kedua (2002-2007) di Provinsi DKI Jakarta, terjadi perubahan penggunaan lahannya secara kuantitas. Ada penambahan lahan terbangun seluas 5.486,79 Ha atau 50% lebih luas dari periode pertama, dan lahan permukiman 1.632 Ha. Ada penurunan luasan penggunaan lahan pertanian 600,82 Ha dan lahan basah 4.885,96 Ha menjadi lahan terbangun penyebab banjir.
Satu dasawarsa terakhir (1996-2007) di Provinsi DKI Jakarta mengalami dinamika perubahan penggunaan lahan secara kuantitas, yaitu perubaha positif terjadi pada penggunaan lahan terbangun seluas 7539,68 Ha atau 11,5% dari luas provinsi. Dimana rata-rata penambahan luasan lahan terbangun mencapai 750 hektar per tahunnya, dominan berupa lahan permukiman seluas 7.174 Ha. Sedangkan penggunaan lahan pertanian dan lahan basah kecenderungan mengalami penurunan sebesar 3.500 hektar atau 350 hektar setiap tahunnya yang digunakan sebagai lahan terbangun, seperti lahan permukiman.
III. PENYEBAB BANJIR
Tak seperti gempa bumi, topan badai, atau gunung meletus yang murni merupakan bencana alam, kebanyakan masalah banjir bukan terjadi semata-mata karena bencana alam. Artinya, banjir ini terjadi karena ada perbuatan manusia yang menyebabkannya. Dengan mengambil studi kasus wilayah DKI Jakarta sebagai kota metropolis di Indonesia, kita akan melihat dan menelaah kejadian banjir yang tak kunjung usai.
1.         Kondisi alamiah
Banjir terjadi karena kondisi alam berupa curah hujan yang tinggi dan topografi daerah yang rendah. Selain itu, perpaduan antara curah hujan yang tinggi dengan kemampuan pengelolaan kota untuk mengatur aliran air (sungai, kanal, gorong-gorong, selokan) yang kurang tepat. Kemudian juga, kondisi ketinggian suatu kawasan dan karakteristik ketinggian daerah sekitarnya (topografi) serta kemampuan suatu kawasan untuk meresapkan air secara optimal.
Secara topografi kondisi wilayah DKI Jakarta di bawah permukaan air laut pasang dan dilalui 13 sistem Daerah Aliran Sungai (DAS) yang berpotensi menggenangi 40% (24.000 ha) dataran rendah yang memiliki ketinggian 1-1,5 meter di bawah permukaan air laut pasang. Bentang alam DKI Jakarta didominasi dataran rawa, pantai dan sungai hingga genangan laguna. Jenis tanahnya didominasi tekstur liat berdebu hingga lempung berdebu yang memiliki kemampuan serap air rendah dan mudah jenuh. DKI Jakarta bahkan dapat mengalami banjir karena hujan yang turun di daerahnya sendiri cukup dengan 50-100 mm/hari. Sedangkan kejadian banjir pada Februari 2007, curah hujan mencapai lebih dari 200 mm/hari.
2.         Pertumbuhan penduduk dan perubahan lahan
Secara demografi wilayah DKI Jakarta memiliki kepadatan 13.000 – 15.000 jiwa per-kilometer persegi. Pertambahan penduduk perkotaan yang tinggi dan terus meningkat dari waktu ke waktu berdampak pada bertambah tingginya tekanan terhadap pemanfaatan ruang kota, sedangkan sumberdaya lahan yang tersedia di kota sangat terbatas, sehingga untuk memenuhi kebutuhan lahan perumahan, penduduk pada kategori kurang mampu akan mengubah lahan tersebut menjadi tempat tinggal. Hal inilah yang pada akhirnya mempengaruhi pola penggunaan lahan di DKI Jakarta.
Sejak tahun 1972 hingga 2005 mengalami alih fungsi lahan, kehilangan 30,3% areal vegetasi hutan dan kehilangan 11.9% areal bervegetasi kebun campuran.
3.         Berkurangnya daerah resapan air dan ruang terbuka hijau
Daerah resapan merupakan daerah tempat masuknya air ke dalam tanah, umumnya melalui permukaan dan secara vertikal. Masuknya air dari luar ke permukaan tanah biasa disebut infiltrasi sedangkan peristiwa bergeraknya air ke bawah dalam profil tanah biasa disebut perkolasi. Daerah resapan tidak bisa lepas dari infiltrasi dan perkolasi. Daerah resapan berperan dalam pengendalian banjir, semakin banyak pori tanah yang tertutup oleh bangunan atau gedung, daerah resapan akan semakin kecil sehingga memperbesar terjadinya air yang mengalir di permukaan dan menyebabkan terjadinya banjir.
Daerah tangkapan air semakin berkurang di hulu Ciliwung. Pada tahun 1996 lahan tangkapan air yang tersedia seluas 6.650 km2, pada tahun 2006 menjadi seluas 5.412 km2.
4.         Penggundulan hutan
Kerusakan hutan terjadi akibat penebangan baik yang dilakukan secara legal maupun secara liar (illegal). Penebangan hutan yang tidak terkendali dengan tidak memperhatikan faktor lingkungan ini berakibat pada penggundulan hutan. Hutan yang gundul menyebabkan air hujan yang jatuh tak dapat diserap. Air hujan ini terus mengalir mencari tempat yang rendah. Bencana banjir terjadi di daratan yang lebih rendah.
5.         Pendangkalan sungai
Masalah banjir juga bisa terjadi karena pendangkalan sungai. Faktor pendangkalan sungai termasuk faktor penting pada kejadian banjir. Pendangkalan sungai berarti terjadinya pengecilan tampang sungai, hingga sungai tidak mampu mengalirkan air yang melewatinya dan akhirnya meluap. Pendangkalan sungai dapat diakibatkan oleh proses pengendapan (sedimentasi) terus-menerus atau terjadi karena endapan lumpur yang terbawa dari daerah yang lebih tinggi atau karena tumpukan sampah, terutama di bagian hilir sungai. Masalah pendangkalan sungai sudah sangat serius dan ditemukan di hampir seluruh daerah hilir/muara di Indonesia.
Di Bandung misalnya, 20% dari sampah dan limbah domestik  yang dihasilkan setiap hari dibuang ke sungai. Angka ini setara dengan 7000 meter  kubik. Pendangkalan sungai ini jelas mengurangi kemampuan sungai untuk menampung air, akhirnya air dari badan sungai meluap ke daratan.
Kali Ciliwung memiliki lebar yang semakin menyempit dari 65 meter tinggal 15-20 meter dan semakin dangkal dari 5 meter tinggal 1-2 meter karena sampah (7.000 ton/hari) dan banyaknya pemukiman liar di bantaran sungai.
6.         Perubahan peruntukan bantaran sungai
Di kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, atau Surabaya, bantaran sungai yang seharusnya menjadi area penghijauan dan pencegah banjir atau erosi telah berubah menjadi tempat pemukiman warga. Perubahan peruntukan ini ditambah dengan perilaku warga yang membuang sampah ke sungai, membuat masalah banjir di perkotaan semakin parah.
7.         Tidak berfungsi dengan baik saluran pembuangan air
Saluran pembuangan air seperti selokan sering tak berfungsi. Selain sempit dan tersumbat oleh sampah, juga mengalami pendangkalan. Akibatnya ketika hujan turun, air pun meluap.
IV. DAMPAK TERJADINYA BANJIR
Banjir yang melanda Jakarta biasanya berdampak pada seluruh kawasan yang tergenang banjir menjadi lumpuh. Jaringan komunikasi (telepon dan internet) terganggu, listrik di sejumlah kawasan yang terendam juga padam, sehingga menyebabkan lampu lalu lintas padam dan kemacetan terjadi di banyak lokasi, termasuk di jalan tol dalam kota. Genangan-genangan air di jalan hingga berukuran satu meter lebih menyebabkan sejumlah akses transportasi menjadi terganggu, sebagian jalur kereta api menjadi lumpuh.
Banjir besar Jakarta pada tahun 2007 sewaktu-waktu bisa terulang. Situasi itu, bisa terjadi jika dalam kurun waktu 12 jam, terjadi hujan lebat di Bogor, Jakarta, dan Laut Jawa. Curah hujan di Bogor 400 milimeter per hari, lebih dari 150 milimeter di Jakarta, dan 150-200 milimeter di laut, dikhawatirkan bakal melumpuhkan ibukota. Akibat bencana banjir yang melanda Jakarta, kerugian ditaksir bisa menelan hingga Rp 37 triliun. Dampak itu paling besar bakal dialami warga dan sektor industry (Damayanti, 2010).
Kerugian yang di alami oleh semua orang yang merasakan banjir disebut dampak dari banjir itu sendiri. Dampak banjir yang di alami oleh setiap orang sangat-sangat merugikan apa lagi jika banjir itu berlangsung sangat lama. Segala aktivitas masyarakat dapat terganggu, lingkungan di sekitar masyarakat menjadi tidak nyaman dan dapat menimbulkan berbagai macam penyakit. Beberapa contoh dari dampak banjir yang merugikan masyarakat. Banjir berdampak pada kesehatan manusia, semua warga yang terkena banjir kesehatannya dapat terganggu karena dapat menderita berbagai penyakit yang di sebabkan oleh banjir salah satunya penyakit gatal-gatal pada kulit karena di limgkungan sekitar yang terkena banjir akan tergenang banyak sampah-sampah dan lalat-lalat yang terbawa air dan membusuk (Adzaniah, 2011).
Selanjutnya Adzaniah (2011) menyatakan bahwa banjir berdampak pada aktifitas manusia, bila banjir datang semua manusia yang kediamannya terkena banjir secara tidak langsung menjadi susah untuk melakukan aktifitas di luar rumah dan semua pekerjaan menjadi terganggu dan dapat menyebabkan kerugian.
V. PENANGANAN DAN SOLUSI
Bencana banjir merupakan kejadian alam yang dapat terjadi setiap saat dan sering mengakibatkan kehilangan jiwa, kerugian harta, dan benda. Kejadian banjir tidak dapat dicegah, namun dapat dikendalikan dan dikurangi dampak kerugian yang diakibatkannya. Karena datangnya relatif cepat, untuk mengurangi kerugian akibat bencana tersebut perlu dipersiapkan penanganan secara cepat, tepat, dan terpadu berupa pengendalian dan penanggulangannya.
Banjir yang pada hakekatnya merupakan proses alamiah yang dapat menjadi bencana bagi manusia bila proses itu mengenai manusia dan menyebabkan kerugian jiwa maupun materi. Dalam konteks sistem alam, banjir terjadi pada tempatnya. Banjir akan mengenai manusia jika mereka mendiami daerah yang secara alamiah merupakan dataran banjir. Bencana banjir yang dialami manusia sebenarnya adalah hasil dari kegagalan manusia dalam membaca karakter alam. Kegagalan manusia membaca apakah suatu daerah aman atau tidak untuk didiami. Misalnya, kegagalan manusia membaca karakter suatu daerah sehingga tidak mengetahui daerah tersebut merupakan daerah banjir. Atau, sudah mengetahui daerah tersebut daerah banjir tetapi tidak peduli. Contoh ini bisa kita lihat dari orang-orang yang memilih tinggal di tepi aliran sungai atau di lembah-lembah sungai.
Menghadapi masalah banjir, setidaknya kita memiliki tiga pilihan, yaitu: jangan mendiami daerah aliran banjir, beradaptasi dengan membuat rumah panggung berkaki tinggi, atau membuat pengendali banjir berupa tanggul, kanal, atau mengalihkan aliran air.
1.         Perencanaan tata ruang
Perencanaan tata ruang merupakan prespektif menuju keadaan pada masa depan yang diharapkan, bertitik tolak dari data, informasi, ilmu pengetahuan dan teknologi yang dapat dipakai, serta memeperhatikan keragaman wawasan kegiatan setiap sektor. Perkembangan masyarakat dan lingkungan hidup berlangsung secara dinamis. Ilmu pengetahuan dan teknologi berkembang seiring dengan berjalannya waktu. Oleh karena itu, agar rencana tata ruang yang telah disusun itu tetap sesuai dengan tuntutan pembangunan dan  perkembangan keadaan, rencana tata ruang dapat ditinjau kembali dan atau disempurnakan kembali.
2.         Perluasan ruang resapan air
Untuk memperluas ruang resapan air dapat dilakukan dengan cara membuat lubang resapan biopori (Brata dalam Arif, 2010). Lubang resapan biopori adalah teknologi tepat guna dan ramah lingkungan untuk mengatasi banjir dengan cara (1) meningkatkan daya resapan air, (2) mengubah sampah organik menjadi kompos dan mengurangi emisi gas rumah kaca (CO2 dan metan), dan (3) memanfaatkan peran aktivitas fauna tanah dan akar tanaman, dan mengatasi masalah yang ditimbulkan oleh genangan air seperti penyakit demam berdarah dan malaria.
Selanjutnya memperluas ruang terbuka hijau, berupa membangun dan memelihara taman-taman kota dan melakukan penghijauan di sepanjang bantaran sungai. Daerah bantaran sungai yang telah dibangun permukiman penduduk, hendaknya mampu dikembalikan menjadi ruang terbuka hijau.
3.         Melakukan penghijauan
Pada hutan-hutan yang telah gundul di daerah hulu dapat dikembalikan dengan melakukan tindakan penghijauan dan penanaman hutan kembali.
4.         Memperlancar aliran air di sungai dan saluran air
Terhadap sungai-sungai dan saluran air yang mengalami pendangkalan dan penyumbatan aliran air akibat sampah dapat dilakukan pengerukan atau normalisasi aliran air untuk memperlancar aliran air di saat musim hujan.
5.         Perubahan perilaku masyarakat
Pratondo (2002) mengemukakan bahwa perilaku masyarakat penyebab banjir meliputi penggundulan hutan, pembuangan sampah di sungai, pembangunan pemukiman di bantaran sungai, dan pembangunan pemukiman yang diluar tata ruang peruntukan. Perilaku masyarakat yang negatif seperti membuang sampah sembarangan khususnya pada daerah aliran sungai sehingga kapasitas sungai tidak mencukupi dan terjadi luapan air yang mengakibatkan banjir atau saluran air (selokan) yang tersumbat oleh sampah sehingga air yang seharusnya mengalir di saluran air (selokan) menjadi meluap ke badan jalan. Keadaan ini dapat memperbesar dan mempercepat terjadinya banjir dan kondisi ini diakibatkan oleh perilaku manusia.
Dengan demikian, untuk mengantisipasi terjadinya banjir dapat dilakukan dengan merubah perilaku manusia untuk tidak melakukan penggundulan hutan, pembuangan sampah di sungai, pembangunan pemukiman di bantaran sungai, dan pembangunan pemukiman yang diluar tata ruang peruntukan.  
VI. PENUTUP
Jakarta sering terjadi banjir disebabkan letak geografis ibukota Jakarta yang lebih rendah yang dapat menyebabkan banjir. Pembangunan yang terlalu padat serta banyaknya kerusakan lingkungan dengan banyaknya sampah yang dibuang sembarangan dan tidak adanya pohon-pohon yang dapat meresap air menjadikan banjir di ibukota Jakarta sering terjadi.
Banjir yang melanda Jakarta biasanya berdampak pada seluruh di kawasan yang tergenang banjir menjadi lumpuh. Jaringan komunikasi, transportasi dan kelistrikan menjadi terganggu. Listrik di sejumlah kawasan yang terendam menjadi padam, juga menyebabkan lampu lalu lintas menjadi padam sehingga terjadi kemacetan lalu lintas di berbagai lokasi di Jakarta.
Usaha pemerintah untuk mencegah banjir, diantaranya melakukan normalisasi sungai, pembangunan situ/waduk, dan melakukan penghijauan. Usaha pemerintah tersebut tidak akan efektif tanpa kerjasama dan peran aktif masyarakat. Masyarakat diharapkan tidak membuang sampah sembarangan dan selalu membuang sampah pada tempatnya dan tidak menebang pohon secara liar agar kestabilan alam dan lingkungan dapat terjaga.
Pemerintah juga diharapkan mampu menyusun kebijakan tentang tata ruang perkotaan yang memiliki makna keseimbangan lingkungan hidup, tidak hanya memenuhi porsi pertumbuhan ekonomi.
  
DAFTAR PUSTAKA
Adzaniah, D., 2011. Dampak Banjir Untuk Lingkungan. Artikel. http://adzaniahdinda.wordpress.com/2011/10/11/dampak-banjir-untuk-lingkungan/, [27-01-2012].
Arif, Z., 2010. Biopori; Solusi Banjir di Perkotaan, Artikel. http://zainalarif.wordpress.com/2010/05/21/biopori-solusi-banjir-di-perkotaan/, [25-01-2012].
Damayanti, M., 2010. Penyebab Banjir di Jakarta. Artikel. http://damayantimaia.blogspot.com/2010/03/makalah-penyebab-banjir-dijakarta.html, [25-01-2012].
Pratondo, B. J., 2002. Sistem Penanggulangan Banjir di Jabotabek. Makalah Falsafah Sains, Program Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor.
Rosiyadi, I., 2011. Musibah Banjir, Makalah. http://ismorosiyadi.blogspot.com/2011/11/makalah-banjir.html [27-01-2012].
Tambunan, M.P., 2011. Kaitan Penggunaan Lahan dengan Banjir. Makalah Seminar Nasional dan Pertemuan Ilmiah Tahunan XIV Ikatan Geografi Indonesia, Universitas Pendidikan Ganesha, Singaraja. Bali 11 November 2011.

1 komentar: