Pages

Senin, 07 Mei 2012

KONFLIK-KONFLIK MASYARAKAT PESISIR

disusun oleh: Miswadi, Gendraya Rohaini, Gusnan Suryadi, dan Diyah Endah Astuti Nasution
Environmental Science Riau University, Pekanbaru, 2012



I.         PENDAHULUAN
Kawasan pesisir adalah wilayah daratan dan wilayah laut yang bertemu di garis pantai di mana wilayah daratan mencakup daerah yang tergenang atau tidak tergenang air yang dipengaruhi oleh prosesproses laut seperti pasang surut, angin laut, dan intrusi air laut. Sedangkan wilayah laut mencakup perairan yang dipengaruhi oleh prosesproses alami daratan seperti sedimentasi dan aliran air tawar ke laut serta perairan yang dipengaruhi oleh kegiatan manusia di darat. Pengelolaan kawasan pesisir melibatkan pengelolaan pemanfaatan perairan dan daratan pesisir secara menerus dan dan sumberdayanya dalam area yang ditetapkan. Batasannya biasanya ditentukan secara politis oleh legislasi atau pemerintah.
Selama ini, perairan pulaupulau kecil yang memiliki potensi perikanan yang tinggi ini cenderung menjadi tempat praktek penangkapan yang tidak ramah lingkungan, seperti pengeboman, pembiusan dan penggunaan racun, baik oleh nelayan asing maupun oleh nelayan lokal. Akibatnya, pengelolaan pesisir pulaupulau kecil cenderung eksploitatif, tidak efisien dan tidaksustainable. Banyak faktorfaktor yang menyebabkan ketidakefektifan pengelolaan sumberdaya pesisir pulaupulau kecil ini, antara lain ambiguitas pemilikan dan penguasaan sumberdaya, ketidakpastian hukum, serta konflik pengelolaan.
Semua permasalahan lingkungan adalah masalah hak pemilikan, dan hampir semua konflik mengenai pengambilan sumberdaya pesisir muncul sebagai akibat kesulitan dalam menjelaskan rezim pemilikan (property regimes). Terdapat empat tipe rezim pemilikan 1) Open access property sebagai milik semua orang, 2) Common property sebagai milik sekelompok orang yang memiliki peraturan atau persetujuan yang tidak tertulis seperti hukum adat, 3) State property sebagai milik negara, dan 4) Private property sebagai milik perorangan atau swasta (company).
Perbedaan tipe hak pemilikan tersebut menentukan kerangka kerja pengelolaan pesisir dan aturan bagaimana pengelolaan tersebut berlangsung. Perbedaan aturan yang sering berbeda satu sama lain inilah yang kerap memicu konflik dalam pengelolaan pesisir.
Konflik sosial muncul (exist) ketika dua orang atau kelompok atau lebih menunjukkan bahwa mereka memiliki kepercayaan yang berbeda. Konflik adalah suatu proses yang dimulai tatkala suatu pihak merasa ada pihak lain yang memberikan pengaruh negatif kepadanya atau tatkala suatu pihak merasa kepentingannya itu memberikan pengaruh negatif kepada pihak lain. Konflik juga diartikan sebagai benturan yang terjadi antara dua pihak atau lebih, yang disebabkan adanya perbedaan nilai, status, kekuasaan, dan kelangkaan sumber daya.
Dalam pengertian tersebut, wujud konflik mencakup rentang yang amat luas: mulai dari ketidaksetujuan yang samarsamar, sampai dengan tindakan kekerasan. Pendek kata setiap perbedaan itu merupakan potensi konflik, yang jika tidak ditangani secara baik, potensi konflik itu bisa berubah menjadi konflik terbuka.


II.        KAWASAN PESISIR DAN KARAKTERISTIKNYA
2.1.      Definisi Pesisir
Definisi kawasan pesisir adalah wilayah daratan dan wilayah laut yang bertemu di garis pantai di mana wilayah daratan mencakup daerah yang tergenang atau tidak tergenang air yang dipengaruhi oleh prosesproses laut seperti pasang surut, angin laut, dan intrusi air laut. Sedangkan wilayah laut mencakup perairan yang dipengaruhi oleh prosesproses alami daratan seperti sedimentasi dan aliran air tawar ke laut serta perairan yang dipengaruhi oleh kegiatan manusia di darat (Bengen, 2001).
Menurut Sugiharto (dalam Dahuri et.al., 2001), definisi pesisir yang digunakan di Indonesia adalah daerah pertemuan antara darat dan laut; ke arah darat wilayah pesisir meliputi bagian daratan, baik kering maupun terendam air, yang masih dipengaruhi sifatsifat laut seperti pasang surut, angin laut, dan perembesan air asin; sedangkan ke arah laut wilayah pesisir mencakup bagian laut yang masih dipengaruhi oleh prosesproses alami yang terjadi di darat, seperti sedimentasi dan aliran air tawar, maupun yang disebabkan oleh kegiatan manusia di darat, seperti penggundulan hutan dan pencemaran.

2.2.      Karakteristik Wilayah Pesisir
Wilayah pesisir memiliki karakteristik yang unik baik dilihat dari aspek biogeofisik maupun aspek sosial, ekonomi dan budaya. Dahuri (2000) menyatakan setidaknya ada enam karakteristik pesisir: 1) Terdapat keterkaitan ekologis baik antar ekosistem di dalam kawasan pesisir maupun antara kawasan pesisir dengan lahan atas dan laut lepas; 2) Dalam suatu kawasan pesisir biasanya terdapat lebih dari dua macam sumberdaya alam dan jasajasa lingkungan yang dapat dikembangkan untuk kepentingan pembangunan; 3) Dalam suatu kawasan pesisir, pada umumnya terdapat lebih dari satu kelompok masyarakat yang memiliki keterampilan atau keahlian dan kesenangan bekerja yang berbeda. Hal ini mengakibatkan pemanfaatan berbagai sumberdaya yang ada; 4) Baik secara ekologis maupun ekonomis, pemanfaatan suatu kawasan pesisir secara monokultur adalah sangat rentan terhadap perubahan internal maupun eksternal yang menjurus kepada kegagalan usaha; 5) Kawasan pesisir merupakan kawasan milik bersama (common property resources) yang dapat dimanfaatkan oleh semua orang (open access). Setiap pengguna sumberdaya berkeinginan untuk memaksimalkan keuntungan sehingga menyebabkan terjadinya pencemaran, overeksploitasi sumberdaya alam dan konflik pemanfaatan ruang; dan 6) Selain karakteristik di atas, kawasan pesisir merupakan kawasan yang secara hayati sangat produktif dan subur. Pada kawasan pesisir juga dilakukan berbagai aktivitas manusia sehingga terjadinya interaksi antara manusia dengan sumberdaya pesisir dan laut.
Depkimpraswil (2003) menyebutkan bahwa dengan karakteristik sebagaimana tersebut di atas, maka wilayah pesisir menghadapi berbagai isu dan permasalahan terkait dengan penataan ruang antara lain: 1) Potensi konflik kepentingan (conflict of interest) dan tumpang tindih antar sektor dan stakeholders lainnya dalam pengelolaan dan pemanfaatan wilayah pesisir. Kondisi ini muncul sebagai konsekuensi beragamnya sumberdaya pesisir yang ada serta karakteristik wilayah pesisir yang “open acces” sehingga mendorong wilayah pesisir telah menjadi salah satu lokasi utama bagi kegiatankegiatan beberapa sektor pembangunan (multiuse). Dalam hal ini, konflik kepentingan tidak hanya terjadi antar “users”, yakni sektoral dalam pemerintahan dan juga masyarakat setempat dan pihak swasta, namun juga antar penggunaan antara lain: (a) perikanan budidaya maupun tangkapan, (b) pariwisata bahari dan pantai, (c) industri maritim seperti perkapalan, (d), pertambangan, seperti minyak, gas, timah dan galian lainnya, (e) perhubungan laut dan alur pelayaran, dan (f) kegiatan konservasi laut dan pesisir seperti hutan bakau (mangrove), terumbu karang dan biota laut lainnya; 2) Potensi konflik kewenangan (jurisdictional conflict) dalam pengelolaan dan pemanfaatan wilayah pesisir. Kondisi ini muncul sebagai konsekuensi tidak berhimpitnya pembagian kewenangan yang terbagi menurut administrasi pemerintah provinsi dan kabupaten/kota dengan kepentingan wilayah pesisir tersebut yang seringkali lintas wilayah otonom; 3) Rendahnya tingkat kesejahteraan masyarakat pesisir yang bermatapencaharian di sektorsektor nonperkotaan; 4) Timbul berbagai dampak pembangunan yang tidak hanya bersumber dari dalam wilayah pesisir, tetapi juga dari wilayah laut dan pedalaman. Hal ini merupakan konsekuensi dari fungsi wilayah pesisir sebagai “interface” antara ekosistem darat dan laut, wilayah pesisir (coastal areas) memiliki keterkaitan antara daratan dan laut; 5) Pemanfaatan potensi sumber daya kemaritiman yang tidak optimal, dimana sektor kelautan dan perikanan merupakan prime mover pengembangan wilayah; 6) Lemahnya kerangka hukum pengaturan pemanfaatan sumber daya laut dan pesisir serta perangkat hukum untuk penegakannya menyebabkan masih banyaknya pemanfaatan sumberdaya yang tidak terkendali; dan 7) Kenaikan muka air laut (sea level rise) sebagai akibat fenomena pemanasan global memberikan dampak yang serius terhadap wilayah pesisir yang perlu diantisipasi penanganannya.

2.3.      Batas Wilayah Pesisir
Apabila ditinjau dari garis pantai (coastline), maka suatu wilayah pesisir memiliki dua macam dua macam batas (bounderies), yaitu: batas yang sejajar dengan pantai (longshore) dan batas yang tegak lurus terhadap garis pantai (crossshore). Untuk keperluan pengelolaan, penetapan batasbatas wilayah pesisir yang sejajar dengan garis pantai relatif mudah, misalnya batas wilayah pesisir antara Sungai Berantas dan Sungai Bengawan Solo, atau batas wilayah pesisir Kabupaten Kupang adalah antara Tanjung Nasikonis dan Pulau Sabu, dan batas wilayah pesisir DKI Jakarta adalah antara Sungai Dadap di sebelah barat dan Tanjung Karawang di sebelah timur (Dahuri et.al., 2001).

2.4.      Sumberdaya Pesisir
Dahuri et.al. (2001) menyatakan bahwa sumberdaya alam di kawasan pesisir dan lautan secara garis besar terdiri dari: (1) sumberdaya dapat pulih (renewable resources), (2) sumberdaya tak dapat pulih (nonrenewable resources), dan (3) jasajasa lingkungan (environmental sevices).
Sumberdaya dapat pulih, antara lain: sumberdaya ikan, plankton, benthos, moluska, krustasea, mamalia laut, rumput laut atau seaweeds, lamun atau seagrass, mangrove, dan terumbu karang. Sedangkan, sumberdaya tak dapat pulih, antara lain: minyak bumi dan gas, bijih besi, pasir, timah, bauksit, dan mineral serta bahan tambang lainnya.
Sumberdaya ikan di kawasan pesisir dan lautan terkenal sangat tinggi, hal ini karena didukung oleh ekosistem yang kompleks dan sangat beragam seperti ekosistem terumbu karang, ekosistem hutan mangrove, ekosistem padang lamun. Sumber daya perikanan laut di Indonesia terdiri dari sumberdaya perikanan plagis besar, pelagis kecil, demersal, udang, ikan karang dan cumicumi.
Potensi jasajasa lingkungan yang terdapat di kawasan pesisir dan lautan, seperti pariwisata bahari dan perhubungan laut, merupakan potensi yang mempunyai nilai tinggi bagi peningkatan pendapatan masyarakat sekitar maupun pendapatan nasional. Kawasan pesisir dan lautan juga digunakan untuk sarana pendidikan dan penelitian, pertahanan keamanan dan penampung limbah.

2.5.      Model Pemanfaatan Sumberdaya Pesisir dan Interaksinya
Model pemanfaatan sumberdaya pesisir bisa sangat beragam. Mulai dari permukiman, penangkapan ikan, pariwisata bahkan sampai kepada kepentingan keamanan dan pertahanan seperti instalasi militer, pangkalan militer dan media komunikasi. Mulai dari lokasi produksi barang sampai kepada pembuangan sampah.
Kay dan Alder (1999) juga mengelompokkan pemanfaatan sumberdaya pesisir ke dalam empat kategori utama: (1) ekploitasi sumberdaya (perikanan, kehutanan [mangrove], minyak dan gas, dan pertambangan lainnya), (2) infrastruktur (transportasi, pangkalan, pelabuhan dan perlindungan garis pantai [penahan ombak]), (3) pariwisata dan rekreasi, dan (4) konservasi dan perlindungan keanekaragaman hayati.

2.6.      Karakteristik Sosial Masyarakat Pesisir
Menurut Redfield (dalam Koentjaraningrat, 1990) ada empat tipe komunitas/masyarakat, yaitu city (kota), town (kota kecil), peasant village (desa petani), dan tribal village (desa terisolasi). Setiap komunitas tersebut memiliki karakteristik kebudayaan yang berbeda satu sama lain. Proses transformasi dari desa terisolasi ke kota, menurut Koentjaraningrat (dalam Satria, 2002) ditandai dengan: (1) kendurnya ikatan adat istiadat, (2) sekularisasi, dan (3) individualisasi.
Merujuk pada klasifikasi Redfield, masyarakat pesisir itu sendiri berada pada setiap tipe komunitas. Namun, kebanyakan masyarakat pesisir di Indonesia merupakan representasi tipe desa petani dan desa terisolasi.
Untuk lebih memperjelas karakteristik masyarakat pesisir sebagai representasi komunitas desa pantai dan desa terisolasi, Satria (2002) menguraikannya dari berbagai aspek: (1) sistem pengetahuan, (2) sistem kepercayaan, (3) peran wanita, (4) struktur sosial, dan (5) posisi sosial nelayan.
1. Sistem Pengetahuan
Pengetahuan tentang teknik penangkapan ikan umumnya didapat dari warisan orang tua atau pendahulu mereka berdasarkan pengalaman empiris. Kuatnya pengetahuan lokal tersebut yang selanjutnya menjadi salah satu faktor penyebab kelangsungan hidup mereka selaku nelayan. Pengetahuan lokal (indigenous knowledge) tersebut merupakan kekayaan intelektual masyarakat nelayan yang hingga kini masih dipertahankan.
Misalnya nelayan suku laut memiliki pengetahuan tradisional yang cukup tinggi terhadap lingkungannya. Nelayan suku laut mengenal konsep Perbani, yaitu suatu kondisi air laut pada saat surut atau pasang tanggung ketika air laut berwarna merah dan tenang. Saat itu diyakini sebagai kondisi banyak ikan. Pada saat air dalam dengan ciriciri warna hijau kemerahmerahan, nelayan percaya ikan besar banyak berkeliaran. Sebaliknya, jika kondisi air banyak mengandung ulat air atau ekorekor menurut bahasa khas nelayan suku laut, hal itu diyakini sebagai kondisi laut yang tidak ada ikannya.
2. Sistem Kepercayaan
Secara teologis, nelayan masih memiliki kepercayaan yang kuat bahwa laut memiliki kekuatan magis sehingga perlu perlakuanperlakuan khusus dalam melakukan aktivitas penangkapan ikan agar keselamatan dan hasil tangkapan semakin terjamin. Tradisi tersebut, antara lain, masih terlihat pada tradisi sowan ke suhu atau dukundukun dalam rangka mendapatkan kelamatan saat melaut dan memperoleh hasil tangkapan baik. Misalnya, hampir semua nelayan nakhoda yang berasal dari Wnokerto, Pekalongan melakukan itu. Mereka melakukannya karena dalam setiap misi penangkapan ikan, nakhodalah yang yang paling bertanggungjawab terhadap keselamatan awak maupun hasil tangkapan.
Demikian juga halnya dengan kegiatan sedekah laut dan pembersihan atau pencucian kapal merupakan bagian dari kepercayaan dimaksud. Sistem kepercayaan tersebut hingga kini masih mencirikan kebudayaan nelayan. Meski demikian, seiring perkembangan teologis akibat meningkatnya tingkat pendidikan atau intensitas pendalaman terhadap nilainilai agama, upacaraupacara itu bagi sebagian kelompok nelayan hanyalah sebuah ritualisme. Maksudnya, suatu tradisi yang terus dipertahankan meskipun telah kehilangan makna sesungguhnya. Jadi, tradisi tersebut dilangsungkan hanya sebagai salah satu instrumen stabilitas sosial dalam komunitas nelayan.
3. Peran Wanita
Aktivitas ekonomi wanita merupakan gejala yang sudah umum bagi kalangan masyarakat strata bawah, tidak terkecuali wanita yang berstatus sebagai isteri nelayan. Umumnya, selain banyak bergelut dalam urusan domestik rumah tangga, isteri nelayan tetap menjalankan fungsifungsi ekonomi dalam kegiatan penangkapan di perairan dangkal (seperti beach seine), pengolahan ikan, maupun kegiatan jasa dan perdagangan. Pollnac (dalam Satria, 2002) menyatakan bahwa terdapat pembagian kerja keluarga nelayan adalah nelayan pria menangkap ikan dan anggota keluarga wanita menjual hasil ikan hasil tangkapan tersebut.
Peran wanita merupakan faktor penting dalam menstabilkan ekonomi di beberapa masyarakat penangkap ikan karena pria mungkin hanya menangkap ikan kadangkadang, sementara wanita bekerja sepanjang tahun. Bahkan isteri nelayan tersebut dominan juga dalam mengatur pengeluaran rumah tangga seharihari sehingga sudah sepatutnya peranan isteriisteri nelayan tersebut menjadi salah satu pertimbangan dalam setiap program pemberdayaan.
Memang isteri nelayan pada umumnya hanya menjalankan fungsi domestik dan ekonomi dan tidak sampai pada sosial politik. Namun, jika dicermati, sebenarnya isteri nelayan kreatif juga dalam menghasilkan pranata sosial yang penting bagi stabilitas sosial komunitas nelayan. Hal ini dapat dilihat pada banyaknya acara pengajian, arisan, serta simpan pinjam yang berperan besar dalam membantu mengatasi penghasilan nelayan yang tidak pasti (Kusnadi dalam Satria 2002).
4. Posisi Sosial Nelayan
Posisi sosial nelayan dalam kebanyakan masyarakat pada status yang relatif rendah. Rendahnya posisi nelayan secara kultural digambarkan Firth (dalam Satria, 2002) yang menggolongkan nelayan sebagai peasant yang memiliki karateristik, “disrespect, implying not merely a low economic level and smallscale semisubsistence production, but also a low cultural, even intelectual position”.

2.7.      Pengertian dan Penggolongan Nelayan
Ditjen Perikanan (dalam Satria, 2002) mendefinisikan nelayan sebagai orang yang secara aktif melakukan pekerjaan penangkapan ikan/binatang air lainnya/tanaman air. Adapun orang yang melakukan pekerjaan seperti membuat jaring atau ke alatalat perlengkapan ke dalam perahu/kapal tidak dikategorikan sebagai nelayan. Sementara itu, ahli mesin dan juru masak yang bekerja diatas kapal penangkap disebut nelayan meskipun mereka tidak secara langsung melakukan penangkapan ikan. Sama dengan penangkapan ikan pada kegiatan pembudidayaan, orang yang disebut petani ikan adalah orang yang melakukan pekerjaan pemeliharaan ikan sebagai anggota rumah tangga maupun buruh/tenaga kerja.
Selanjutnya, Ditjen Perikanan (dalam Satria, 2002) mengklasifikasikan nelayan berdasarkan waktu yang digunakan untuk melakukan pekerjaan operasi penangkapan/pemeliharaan, yaitu:
1. Nelayan/petani ikan penuh adalah orang yang seluruh waktu kerjanya digunakan untuk melakukan pekerjaan operasi penangkapan/ pemeliharaan ikan/binatang air lainnya/tanaman air.
2. Nelayan/petani ikan sambilan utama adalah orang yang sebagian besar waktu kerjanya digunakan untuk melakukan pekerjaan operasi penangkapan/ pemeliharaan ikan/binatang air lainnya/tanaman air.
3. Nelayan/petani ikan sambilan tambahan adalah orang yang sebagaian kecil waktu kerjanya digunakan untuk melakukan pekerjaan operasi penangkapan/ pemeliharaan ikan/binatang air lainnya/tanaman air.
Dari status penguasaan kapital, menurut Satria (2002) nelayan dapat kita bagi menjadi nelayan pemilik dan nelayan buruh. Nelayan pemilik atau juragan adalah orang yang memiliki sarana penangkapan, seperti kapal/perahu, jaring, dan alat tangkap lainnya. Sementara nelayan buruh adalah orang yang menjual jasa tenaga kerja sebagai buruh dalam kegiatan penangkapan ikan di laut, atau sering kita sebut sebagai anak buah kapal (ABK).
Pollnac (dalam Satria, 2002) pernah membedakan nelayan ke dalam dua kelompok; nelayan besar (large scale fisherman) dan nelayan kecil (small scale fisherman). Pembedaan ini berdasarkan respon untuk mengantisipasi tingginya risiko dan ketidakpastian. Melihat bahwa pengelompokkan Pollnac kurang memadai untuk konteks negara berkembang seperti Indonesia, Satria (2002) menggolongkan nelayan menjadi empat tingkatan yang dilihat kapasitas teknologi (alat tangkap dan armada), orientasi pasar, dan karakteristik hubungan produksi.
Pertama, peasant fisher atau nelayan tradisonal yang biasanya lebih berorientasi pada pemenuhan kebutuhan sendiri (subsistence) dan bukan diinvestasikan kembali untuk pengembangan skala usaha. Umumnya mereka menggunakan alat tangkap tradisional dayung atau sampan tidak bermotor dan masih melibatkan anggota keluarga sebagai tenaga kerja utama.
Kedua, dengan berkembangnya motorisasi perikanan, nelayan pun berubah dari peasant fisher menjadi postpeasant fisher yang dicirikan dengan penggunaan teknologi penangkapan ikan yang lebih maju seperti motor tempel atau kapal motor. Penguasaan sarana perahu motor itu semakin membuka peluang bagi nelayan untuk menangkap ikan di wilayah perairan yang lebih jauh dan memperoleh surplus dari hasil tangkapan itu karena mempunyai daya tangkap lebih besar. Umumnya, nelayan jenis ini masih beroperasi di wilayah pesisir. Pada jenis ini, nelayan sudah berorientasi pasar. Sementara itu, tenaga kerja atau ABKnya sudah meluas dan tidak bergantung pada anggota keluarga saja.
Ketiga adalah commercial fisher, yaitu nelayan yang telah berorientasi pada peningkatan keuntungan. Skala usahanya sudah besar yang dicirikan dengan banyaknya tenaga kerja dengan status yang berbeda dari buruh hingga manajer. Teknologi yang digunakanpun lebih modern dan membutuhkan kealhlian tersendiri dalam pengoperasian kapal maupun alat tangkapnya. Contohnya nelayan purse seine di Pekalongan.
Keempat adalah industrial fisher yang pengertiannya dapat mengacu pada Pollnac, yaitu: a) diorganisasi dengan caracara yang mirip dengan perusahaan agroindustri di negaranegara maju; b) secara relatif lebih padat modal; c) memberikan pendapatan yang lebih tinggi daripada perikanan sederhana, baik untuk pemilik maupun awak perahu; dan d) menghasilkan ikan untuk kaleng dan ikan beku yang berorientasi ekspor.
Nelayan skala besar dicirikan dengan majunya kapasitas teknologi penangkapan maupun jumlah armadanya. Mereka lebih berorientasi pda keuntungan (profit oriented) dan melibatkan buruh nelayan sebagai ABK dengan organisasi kerja yang kompleks.


III.      KONFLIK DAN ANATOMI KONFLIK
3.1.      Definisi Konflik
Kriesberg (1998) menyatakan bahwa konflik sosial muncul (exist) ketika dua orang atau kelompok atau lebih menunjukkan bahwa mereka memiliki kepercayaan yang berbeda. Menurut Soerjono dalam Darwin (2005), konflik adalah suatu proses terjadinya pertentangan, kekuasaan, kedudukan, dan seterusnya, di mana salah satu pihak berusaha menghancurkan pihak lain. Robbin dalam Darwin (2005), memberikan definisi konflik secara lebih luas, yaitu konflik dikatakan sebagai suatu proses yang dimulai tatkala suatu pihak merasa ada pihak lain yang memberikan pengaruh negatif kepadanya atau tatkala suatu pihak merasa kepentingannya itu memberikan pengaruh negatif kepada pihak lain. Dalam pengertian tersebut, wujud konflik mencakup rentang yang amat luas: mulai dari ketidaksetujuan yang samarsamar, sampai dengan tindakan kekerasan. Pendek kata setiap perbedaan itu merupakan potensi konflik, yang jika tidak ditangani secara baik, potensi konflik itu bisa berubah menjadi konflik terbuka.
Konflik juga diartikan sebagai benturan yang terjadi antara dua pihak atau lebih, yang disebabkan adanya perbedaan nilai, status, kekuasaan, dan kelangkaan sumberdaya. Konflik seringkali mengandung konotasi negatif, yang cenderung diartikan sebagai lawan kata dari pengetian kerjasama, harmoni, dan perdamaian, sehingga konflik acapkali diasosiasikan dengan kekerasan atau ancaman kekerasan (Maskanah dan Fuad, 2000).
Konflik timbul saat beberapa pihak percaya aspirasi mereka tidak dapat diraih bersama, atau merasa adanya perbedaan dalam tata nilai, kebutuhan atau kepentingan mereka. Pihakpihak tersebut dengan sengaja menggunakan kekuasaan mereka dalam usaha saling menyingkirkan, menetralkan atau mengubah untuk melindungi atau meningkatkan kepentingan mereka dalam interaksi ini (Mark Anstey dalam Mochran, 2003).

3.2.      Teori Teori Konflik
3.2.1.   Teori Karl Marx
MagnisSuseno dalam Darwin (2005), konsep pemikiran Karl Marx tentang konflik merupakan pembuka jalan menuju suatu perubahan sosial. Konsep pemikiran Karl Marx mengenai konflik dan perubahan sosial salah satunya adalah mengenai konsep kelas sosial (social class). Kelas sosial dalam tatanan masyarakat ditentukan oleh posisi seseorang dalam proses produksi, dimana dikenal dua tingkat kelas sosial yaitu kelas atas sebagai pemilik alatalat produksi/majikan dan kelas bawah sebagai pelaku produksi/buruh/kaum proletar. Pelakupelaku utama perubahan sosial bukan individuindividu tertentu melainkan kelaskelas sosial sehingga kelaskelas sosial inilah yang merupakan aktor sejarah. Dalam hubungan kekuasaan, kelas atas lebih berkuasa dari kelas bawah, karena mereka memiliki kekuasaan untuk meniadakan kesempatan buruh bekerja. Kesempatan ini digunakan untuk menindas buruh untuk bekerja seluruhnya untuk mereka, sehingga buruh dianggap sebagai kaum tertindas dan majikan sebagai kaum penindas.
Pertentangan antara kelas buruh dan kelas majikan lebih disebabkan karena kepentingan dua kelas itu secara obyektif berlawanan satu sama yang lain. Majikan berkepentingan untuk mengusahakan laba sebanyakbanyaknya dengan menekan biaya tenaga kerja buruh, sebaliknya buruh berkepentingan untuk mendapat upah sebanyakbanyaknya. Perbedaan kepentingan tersebut menurutnya tidak dapat diselesaikan dengan cara musyawarah atau perubahan sikap tetapi melalui perubahan struktur kekuasaannya. Kelas atas tidak mungkin merelakan peranannya maka sebuah perubahan sistem sosial hanya dapat diakhiri dengan jalan kekerasan melalui revolusi. Kondisi ini akan mengancam posisi kelas atas sehingga mereka cenderung bersikap konservastif, sedangkan kelas bawah akan bersifat progresif dan revolusioner, sehingga kelas atas berusaha mempertahankan status quo untuk menentang segala perubahan dalam struktur kekuasaan.
Salim dalam Darwin (2005) dalam konsepsi Karl Marx, perubahan sosial ada pada kondisi historis yang melekat perilaku manusia secara luas. Tepatnya, sejarah kehidupan material manusia, karena pada hakekatnya perubahan sosial dapat diterangkan dengan hubungan sosial yang berasal dari pemilikan modal dan material. Perilaku seseorang dalam membentuk sejarah dipengaruhi oleh kondisi materi yang dimiliki atau motif materi menyebabkan perilaku seseorang dalam suatu periode sejarah. Konsep ini lebih dikenal dengan sebutan Historical Materialism. Menurut Awang dalam Darwin (2005), analisis Marx lebih kepada eksplorasi konflik material dari kekuatankekuatan ekonomi yang berasal dari kelompok pemegang modal (majikan) dan kelompok pekerja. Marx meyakini bahwa perbedaan kelas ditentukan oleh sistem ekonomi.

3.2.2.   Teori Max Weber
Pemikiran Max Weber (dalam Darwin, 2005), yang dapat berpengaruh pada teori perubahan sosial adalah bentuk rasionalisme yang dimiliki. Terutama dalam kehidupan masyarakat barat yang bersifat operationalteknis perilakunya terusmenerus diperbaiki. Menurutnya bentuk rasional meliputi mean (alat) yang menjadi sasaran utama dan ends yang meliputi aspek kultural, sehingga pola pikir rasional ada pada perangkat alat yang dimiliki dan kebudayaan yang mendukung kehidupannya. Dalam sepanjang sejarah kehidupan Purposive Rationality yaitu suatu bentuk rasional yang paling tinggi dengan unsur pertimbangan pilihan yang rational sehubungan dengan tujuan tindakan itu dan alat yang dipilihnya bisa menggerakkan banyak perubahan sosial, mengubah perilaku kehidupan orangperorang secara kontekstual. Unsur rational yang paling banyak diikuti oleh masyarakat adalah unsur materi atau ekonomi. Bagi Weber dalam masyarakat terdapat pengelompokanpengelompokan berdasarkan kepentingan tertentu yaitu:
Class (pengelompokan berdasarkan ekonomi)
Status (pengelompokan berdasarkan kondisi dan kepentingan sosial)
Party (pengelompokan berdasarkan kepentingan kekuasaan politik)
Menurut Weber (dalam Darwin, 2005), stratifikasi masyarakat menurut status berbeda dari stratifikasi menurut ekonomi, meskipun posisi kelas ekonomi dan kedudukan status saling berhubungan erat, namun tidak selamanya demikian. Kadangkadang ukuran uang tidak dapat menentukan status kelas atau prestise yang tinggi dalam masyarakat. Dalam hubungannya dengan politik kekuasaan Weber menganggap dimensi ini bisa tumpang tindah dengan salah satu atau keduanya dalam banyak situasi, namun secara analitik berbeda dan bisa berdiri sendiri. Menurut Weber kekuasaan adalah kemampuan untuk mengatasi perlawanan dari orang lain dalam mencapai tujuantujuan seseorang khususnya dalam mempengaruhi perilaku mereka. Orang mungkin berjuang untuk memperoleh kekuasaan saja atau kekuasaan sebagai alat untuk meningkatkan posisi ekonomi atau statusnya.
Menurut Awang dalam Darwin (2005), Weber beranggapan bahwa politik itu sebagai sarana perjuangan untuk bersamasama melaksanakan politik atau perjuangan untuk mempengaruhi caracara distribusi kekuasaan, baik antar negara maupun antara kelompokkelompok di dalam suatu negara. Oleh karena itu Weber menekankan kepada pelaksanaan kekuasaan dan bagaimana memperoleh legitimasinya.

3.2.3.   Teori Emille Durkhem
Untuk mengatasi dampak perubahan sosial yang sangat cepat, Emile Durkhem (dalam Darwin, 2005) menawarkan suatu kajian sosiologi perubahan sosial yang merupakan hasil rekayasa dan perubahan sosial yang stabil dengan tetap berlandaskan kepada status quo, yaitu melalui pendekatan sistem. Pendekatan ini adalah untuk menanggulangi segala sesuatu sebelum terjadi menjadi lebih parah.
Dalam pendekatan ini masyarakat dianalogikan sebagai living organism (konsep biologi pada kehidupan sosial), dimana mahkluk hidup memiliki organisme yang hidup dalam tatanan sistem, masingmasing organ memiliki fungsi sendirisendiri yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain. Jika satu organ tidak berfungsi akan mempengaruhi fungsi organ yang lain. Begitu juga dalam proses perubahan sosial, suatu bentuk perubahan apapun akan menimbulkan perubahan yang lain. Dalam pendekatan sistem ini tidak mengisyaratkan adanya perubahan dari dalam karena perubahan dianggap selalu datang dari luar, sehingga dikenal adanya systemic approach yang meliputi:
a. Balanced and Equilibrium, yaitu suatu keadaan dimana diutamakan terjadinya keseimbangan kekuatan sehingga tidak terjadi perubahan sosial yang mengarah pada penghancuran sistem yang ada.
b. External factor, yaitu faktorfaktor di luar sistem yang diproyeksikan selalu menjadi faktor penyebab utama proses perubahan sosial.
c. Consensus, yaitu suatu proses pencapaian kesepakatan sosial dari orangorang atau lembaga yang terlibat dalam konflik sosial.
Berbeda dengan analisa Karl Mark mengenai pertentangan antar kelas, dalam konsep kelas menurut Durkhem berfungsi untuk saling melengkapi, karena pada hakekatnya dalam masyarakat tidak pernah terjadi pertentangan (keharmonisan), semua masalah dapat diselesaikan dengan peningkatan solidaritas antar kelompok.

3.2.4.   Teori Ralf Dahrendorf
Doyle dalam Darwin (2005) berpendapat bahwa teori Dahrendorf bertolak dari teori Karl Marx, tetapi Marx mendasarkan teorinya mengenai pembentukan kelas pada pemilikan alat produksi, sedangkan Dahrendorf berpendapat bahwa kontrol atas alat produksi merupakan faktor yang penting, dan kontrol bukan berasal dari kepemilikan tetapi dari kedudukan posisi otoritasnya.
Pendekatan Dahrendorf berlandas pada asumsi bahwa semua sistem sosial itu “dikoordinasi secara imperatif” dengan hubungan otoritas. Selain itu Dahrendorf menunjukkan adanya perkembanganperkembangan yang tidak diramalkan Marx meliputi heterogenitas tenaga kerja yang semakin tinggi; bertambahnya persamaan dalam bidang politik dan meningkatnya arti hakhak politik; meningkatnya kemakmuran materiil untuk sebagian besar masyarakat, berdirinya mekanisme institusional untuk merembukkan isuisu konflik kelas.
Dalam dinamika konflik Dahrendorf setuju dengan pandangan Marx dimana jika terjadi isu tertentu ada kecenderungan untuk menjadi dua kelompok yang utama yang tidak dapat dielakkan lagi untuk berkonflik dimana masingmasing kelompok itu berada pada sisi yang saling bertentangan. Sadar atas posisi kelasnya maka orang akan membentuk kelompok konflik kelas untuk berusaha mengubah struktur otoritas itu. Keradikalan perubahan struktural berhubungan dengan intensitas dan kekerasan konflik. Satu hal yang penting dalam hal ini adalah bahwa pengakuan yang eksplisit akan isuisu konflik dan menegakkan mekanisme untuk mengaturnya.

3.2.5.   Teori Lewis Coser
Menurut Doyle dalam Darwin (2005), tujuan Coser yang utama adalah memperlihatkan fungsi positif dari konflik dalam meningkatkan integrasi sosial. Menurutnya konflik antar kelompok meningkatkan solidaritas internal dalam kelompokkelompok yang berkonflik tersebut. Konflik juga merupakan suatu rangsangan utama untuk suatu perubahan sosial. Poloma dalam Darwin (2005), Coser melihat adanya suatu katup pengaman (Safety Valve), yaitu mekanisme yang khusus dipakai untuk mempertahankan kelompok dari kemungkinan konflik sosial. “Katupkatup penyelamat” membiarkan luapan permusuhan tersalur tanpa menghancurkan seluruh struktur. Coser melihat katup penyelamat berfungsi sebagai jalan keluar yang meredakan permusuhan, yang tanpa itu hubungan diantara pihakpihak yang bertentangan akan semakin tajam.

3.3.      Sumbersumber Konflik
Menurut Mochran (2003), konflik cenderung muncul dalam situasi dimana:
a. Sumberdaya langka
Jika sebuah komunitas atau bangsa tidak memiliki sumberdaya alam yang dapat menjamin standar kehidupan yang layak untuk semua orang, maka konflik akan cenderung terjadi akibat kompetisi antar kelompok atau individu untuk memperoleh sumberdaya alam yang langka. Selain itu, konflik juga akan cenderung terjadi ketika beberapa kelompok merasa dirinya dieksploitasi oleh kelompok lainnya dan mendapat kesempatan yang berbeda. Konflik akan sumberdaya alam dapat diperparah bila terdapat perbedaan salam pembagian sumberdaya dimaksud.
b. Kebutuhan (identitas) manusia terancam
Kebutuhan akan identitas berhubungan dengan bagaimana mereka secara individu mengidentifikasikan diri mereka dalam hubungannya dengan agama, bahasa, budaya dan kebangsaan mereka. Identitas individu seringkali dihubungkan dengan kelompokkelompok, dan individu memiliki kecenderungan untuk melihat strukturstruktur kelompok, kepercayaan dan tingkah laku sebagai bagian kepanjangan identitas diri mereka. Dengan demikian, apa saja yang mengancam identitas sebuah kelompok juga mengancam identitas mereka. Konflik berdasarkan kebutuhan identitas umumnya berakar sangat dalam dan tidak dapat ditawartawar.
c. Adanya ketidakseimbangan struktural
Konflik sering terjadi ketika sumberdaya diatur dan diidistribusikan dengan tidak sama. Ini terjadi saat kelompok yang dominan menggunakan kekuasaannya untuk menyerobot masuk menempati posisi yang tidak seharusnya ditempati dan menggunakan posisi ini untuk mengamankan distribusi sumberdaya yang tidak seimbang tersebut.
d. Informasi yang tidak akurat
Banyak konflik yang terjadi dalam situasisituasi dimana kelompokkelompok yang terlibat tidak memiliki akses yang memadai untuk mendapatkan informasi yang mereka butuhkan utnuk membuat keputusan. Pihakpihak yang bertikai sering menganggap informasi sebagai kekuatan dan tidak memiliki keinginan untuk membagi informasi tersebut dengan lawannya.
e. Tujuan yang bersaing
Sangat wajar bahwa koflik muncul saat pihakpihak yang bertikai merasa mereka memiliki tujuan yang bersaing yang mereka percaya tidak sesuai satu sama lain.
f. Hubungan antar sesama yang buruk
Faktor lain yang dapat meningkatkan ketegangan antara pihakpihak yang bertikai adalah kemungkinan dendam pribadi antara para pemimpin. Jika ini terjadi, para pemimpin cenderung tidak akan mengakui kebencian mereka terhadap lawannya dan menyalahkan konflik karena sebab lain.
Sementara itu menurut Bromley (1997), semua permasalahan lingkungan adalah masalah hak pemilikan, dan hampir semua konflik mengenai pengambilan sumberdaya pesisir muncul sebagai akibat kesulitan dalam menjelaskan rezim pemilikan (property regimes). Terdapat empat tipe rezim pemilikan menurut Bromley dan Cernea (dalam Putra dan Idris, 2001), yaitu: 1) Open access property sebagai milik semua orang, 2) Common property sebagai milik sekelompok orang yang memiliki peraturan atau persetujuan yang tidak tertulis seperti hukum adat, 3) State property sebagai milik negara, dan 4) Private property sebagai milik perorangan atau swasta (company). Perbedaan tipe hak pemilikan tersebut menentukan kerangka kerja pengelolaan pesisir dan aturan bagaimana pengelolaan tersebut berlangsung. Perbedaan aturan yang sering berbeda satu sama lain inilah yang kerap memicu konflik dalam pengelolaan pesisir.
Dorcey (dalam Mitchell et.al, 2000) juga menyebutkan beberapa penyebab dasar konflik. Pertama, perbedaan pengetahuan atau pemahaman dapat mengarah pada timbulnya konflik. Berbagai kelompok mungkin menggunakan model, perkiraan dan informasi yang berbeda. Perbedaan fakta dan interpretasi dua kelompok terhadap suatu keadaan akan dapat menimbulkan konflik tentang apakah telah mucul persoalan, dan/atau penyelesaian persoalan manakah yang paling tepat.
Kedua, konflik dimungkinkan muncul karena perbedaan nilai. Dalam hal ini, mungkin ada kesepakatan tentang bentuk suatu persoalan serta cara penyelesaiannya, akan tetapi terjadi perbedaan yang pokok pada titik akhir yang dituju. Misalnya pada kasus sumber daya air, satu kelompok mungkin mungkin meyakini bahwa sumberdaya air dapat dimanfaatkan semaksimal mungkin sejauh hal tersebut dapat mendukung kegiatan ekonomi, baik industri ataupun pertanian. Kelompok lain mungkin meyakini bahwa sejumlah air tertentu harus tetap dialokasikan untuk kepentingan lain, terutama untuk menjamin kehidupan ikan dan berbagai kehidupan air lainnya, atau untuk menjaga kesuburan lahan yang tergantung pada air tanah pada musim kering.
Ketiga, perbedaan kepentingan dapat menimbulkan konflik meskipun berbagai kelompok menerima fakta dan interpretasi yang sama, serta mempunyai kesamaan nilai. Tetapi konflik dapat saja muncul akibat adanya perbedaan kepentingan. Dengan kata lain, konflik muncul bukan karena perbedaan pengetahuan (misalnya disepakati bahwa sumber air telah atau belum habis) atau karena perbedaan nilai (misalnya bahwa pertumbuhan ekonomi penting untuk peningkatan lapangan kerja, akan tetapi karena perbedaan tentang siapa yang diuntungkan atau siapa yang dirugikan).
Keempat, konflik dapat muncul karena adanya persoalan pribadi atau karena latar belakang sejarah. Dalam suatu kasus misalnya, satu kelompok mungkin telah sekian lama memendam kemarahan karena kelompok lain pernah menghalangi atau menghambat kepentingan mereka. Sebagai akibatnya, mungkin pada suatu saat kelompok yang pernah dirugikan tersebut akan membalas dendam atau berusaha mendapatkan kembali peluang yang dulu pernah diserobot oleh kelompok lain.
Konflik tidaklah selalu berkonotasi kurang baik. Konflik, dalam banyak hal, dapat membantu dalam mengidentifikasi permasalahan apabila suatu proses atau prosedur mengalami jalan buntu. Konflik juga dapat merupakan rambu–rambu bagi para penganalisa atau manajer untuk senantiasa menyadari akan adanya perbedaan, baik pandangan maupun nilainilai (Dorcey dalam Mitchell et.al., 2000).

3.4.      Wujud dan Jenis Konflik
Konflik dapat berwujud konflik tertutup (latent), dan terbuka (manifest). Konflik tertutup dicirikan dengan adanya tekanantekanan yang tidak tampak, tidak sepenuhnya berkembang dan belum terangkat ke permukaan. Konflik terbuka (manifest) adalah perselisihan dimana pihakpihak yang berselisih teridentifikasikan. Konflik terbuka merupakan konflik di mana pihakpihak berselisih terlibat secara aktif dalam perselisihan yang terjadi. Menurut level permasalahannya, terdapat dua jenis konflik yakni konflik vertikal dan konflik horizontal. Konflik vertikal adalah konflik yang terjadi apabila pihak yang dilawan oleh salah satu pihak berada pada level yang berbeda, sedangkan konflik horizontal adalah konflik yang terjadi antara sesama anggota masyarakat (Maskanah dan Fuad, 2000).
Dalam hal pemanfaatan sumberdaya pesisir, Husein dalam Darwin (2005) mengkategorikan konflik kepentingan multi pengguna ruang di pesisir dan pulaupulau kecil ke dalam tiga pendekatan konflik: 1). Konflik fungsional; konflik ini pada dasarnya mempertentangkan antara kepentingan ekonomi dan ekologi. 2). Konflik pengelolaan yaitu konflik yang diakibatkan ketidakjelasan batas kewenangan pengelolaan ruang/lahan pesisir dan pulaupulau kecil. 3). Konflik invidu, yaitu konflik yang ditimbulkan akibat dari paradigma berfikir yang menganggap bahwa sumberdaya pesisir dan pulaupulau kecil adalah sebagai barang bebas yang dapat dikelola dan dimanfaatkan oleh siapa saja.
Menurut Cicinsain dan Knecht (1998), konflik yang sering terjadi di wilayah pesisir dan berkaitan dengan sumberdayanya dapat diklasifikasikan menjadi dua jenis, yaitu: (1) konflik di antara pengguna yang mengenai pemanfaatan daerah pesisir dan laut tertentu, dan (2) konflik di antara lembaga pemerintah yang melaksanakan program yang berkaitan dengan pesisir dan laut.
Miles (dalam Cicinsain dan Knecht, 1998) menambahkan bahwa konflik antar pengguna mencakup: (1) kompetisi terhadap ruang dan sumberdaya pesisir dan laut, (2) dampak negatif dari suatu kegiatan pemanfaatan terhadap kegiatan yang lain, dan (3) dampak negatif terhadap ekosistem.
Sementara konflik antar lembaga menurut Miles, sering kali disebabkan oleh ketidakjelasan mandat hukum dan misi yang berbeda, perbedaan kapasitas, perbedaan pendukung atau konstituensi, serta kurangnya komunikasi dan informasi (Cicinsain dan Knetch, 1998).

3.5.      Tahapan Konflik
Mochran (2003) membagi tahapan perkembangan konflik menjadi:
Tahap 1: Konflik Laten
Konflik laten terjadi pada satu kondisi yang memiliki potensi untuk menghasilkan konflik, tetapi belum disadari oleh pihakpihak yang terlibat. Konflik laten dapat muncul ketika suatu kelompok memutuskan untuk mengejar suatu tujuan tertentu, tanpa menyadari tujuan ini bertentangan dengan tujuan kelompok yang lainnya. Konflik laten dapat juga terjadi saat kebutuhan masyarakat diabaikan, tetapi mereka belum menyadari atau belum meminta perhatian tentang masalah kebutuhan ini.
Tahap 2: Konflik Mulai Muncul
Konflik akan memasuki tahap kedua saat kelompokkelompok merasa mereka memiliki tujuan yang tidak sesuai atau saat salah satu dari kelompok memutuskan bahwa kondisi ini tidak adil dan mereka tidak ingin lagi mendukung status quo. Dibeberapa masyarakat yang tertindas, mereka menerima aturan dari kelompokkelompok yang dominan untuk waktu yang lama. Begitu mereka sadar tentang eksploitasi diri mereka, mereka mulai menyadari kebutuhan akan perubahan. Konflik terlihat muncul saat salah satu kelompok mulai mengungkapkan kebutuhan akan perubahan, sementara pihak lainnya menetapkan bahwa setiap perubahan akan ditolak.
Tahap 3: Konflik tanpa Kekerasan
Konflik masuk tahap ketiga saat salah satu pihak mulai menggunakan kekuasaannya guna membawa perubahan, sedangkan yang lain siap menahannya. Pada tahap ini sering terjadi ancamanancaman dan usahausaha pihakpihak yang bertikai untuk meyakinkan yang lain agar menyerah. Mereka juga berusaha meyakinkan pihak luar bahwa tujuan mereka adil, dengan harapan tekanan dari luar dapat memaksa untuk melepaskan posisinya.
Tahap 4: Konflik dengan Kekerasan
Dalam banyak kasus konflik tidak pernah memasuki tahap terakhir, yaitu konflik dengan kekerasan. Hal ini dapat meningkatkan pertimbangan taruhan yang ada dan membuat tugas untuk mencari pemecahan menjadi jauh labih sulit. Meningginya emosi, hilangnya nyawa dan kerusakan harta benda membuka lingkup baru yang dapat berpengaruh besar pada pihakpihak yang bertikai untuk mencari penyelesaian yang dapat memuaskan mereka.

3.6.      Anatomi Konflik Nelayan
Secara anatomis, konflik dalam masyarakat pesisir, khususnya nelayan, dapat dikatagorikan ke dalam berbagai macam bentuk berdasarkan faktorfaktor penyebabnya. Berdasarkan studi di lima provinsi, Satria et.al (dalam Satria, 2002) mengidentifikasikan, paling tidak, ada empat macam konflik:
1) Konflik kelas, yaitu konflik yang terjadi antar kelas sosial nelayan dalam memperebutkan wilayah penangkapan (fishing ground). Nelayan tradisional merasakan ketidakadilan dalam pemanfaatan sumberdaya ikan akibat perbedaan tingkat penguasaan kapital. Hal ini dapat ditemukan di berbegai daerah dalam bentuk konflik antara nelayan trawl dan nelayan tradisonal. Konflik tersebut terjadi akibat pengoperasian kapal trawl di perairan pesisir yang sebenarnya wilayah penangkapan nelayn tradisonal.
2) Konflik orientasi, yaitu konflik yang terjadi antar nelayan yang memiliki perbedaan orientasi dalam pemanfaatan sumberdaya. Misalnya, antara nelayan yang memiliki orientasi jangka panjang dan nelayan yang hanya berorientasi jangka pendek. Caracara pemanfaatan sumberdaya yang ramah lingkungan ditunjukkan nelayan orientasi jangka panjang dalam wujud kepeduliannya terhadap lingkungan. Sementara itu, nelayan yang hanya berorientasi jangka pendek seringkali melakukan kegiatan pemanfaatan yang bersifat merusak lingkungan, misalnya dengan menggunakan bom atau potassium cyanide. Konflik ini umumnya merupakan konflik horizontal yang tidak didasarkan pada kelas.
3) Konflik agraria, yaitu konflik yang terjadi akibat perebutan fishing ground. Konflik ini terjadi pada nelayan antar kelas maupun nelayan dalam kelas sosial yang sama. Bahkan, konflik dapat terjadi juga antar nelayan dengan pihak bukan nelayan seperti perusahaan penambangan pasir di Riau Kepulauan.
4) Konflik primordial, yaitu konflik yang terjadi akibat perbedaan identitas, etnik, asal daerah, atau lainnya.Konflik ini seringkali disebut sebagai akibat diterapkannya otonomi daerah. Namun, jika ditelusuri lebih jauh, konflik identitas tersebut tidak bersifat murni, melainkan tercampur dengan konflik kelas yang sebenarnya sudah sering terjadi jauh sebelum diterapkannya otonomi daerah.

IV.      RESOLUSI KONFLIK
Menurut Mitchell et.al. (2003), ketika konflik/sengketa muncul berkaitan dengan berbedanya kepentingan tentang alokasi sumberdaya dan lingkungan, paling tidak empat pendekatan dapat dipakai untuk penyelesaiannya: (1) politis, dilakukan oleh politisi dan pengambil keputusan yang melihat berbagai nilai dan kepentingan yang berbeda, kemudian mengambil keputusan berdasarkan nilai dan kepentingan tersebut, (2) administrasi, dilakukan melalui organisasi pengelolaan sumberdaya yang secara resmi dibentuk dan memberikan kesempatan pada para birokrat untuk mengambil keputusan tentang satu sengketa, (3) hukum, dilakukan melalui pendekatan alternatif penyelesaian pengaduan dan pengadilan, apabila pihak yang bersengketa sudah begitu sulit untuk berdamai, bahkan sulit untuk mengadakan dialog satu dengan yang lainnya, dan (4) alternatif penyelesaian masalah.
Mitchel et.al. (2003) menambahkan bahwa pendekatan alternatif penyelesaian konflik (APK) muncul sebagai jawaban atas ketidakpuasan terhadap pendekatan hukum, juga sebagai jawaban atas tumbuhnya kesadaran akan pentingnya partisipasi masyarakat lokal dalam pengelolaan lingkungan dan sumberdaya alam. APK juga dikembangkan untuk menghindari model pihak pemenang dan pihak yang kalah, yang dihasilkan oleh pendekatan hukum.
Ada empat jenis APK, yaitu: (1) konsultasi publik, gagasan dasarnya adalah untuk saling membagi informasi, meyakinkan bahwa berbagai pandangan dikemukakan, membuka proses manajemen sehingga dapat berlangsung efisien dan adil, kesemuanya untuk meyakinkan bahwa semua pihak mendapatkan kepuasan yang sama, (2) negosisasi, dilakukan ketika dua atau lebih kelompok bertemu secara sukarela dalam upaya untuk mencari isuisu yang menyebabkan konflik diantara mereka, untuk kemudian meraih kesepakatan yang saling diterima oleh semua pihak secara konsensus, (3) mediasi, mempunyai karakteristik (bentuk khusus) dari negosiasi, ditambah dengan keterlibatan pihak ketiga yang netral (sebagai mediator), dan (4) arbitrasi, berbeda dengan mediasi, pihak ketiga yang terlibat dan bertindak sebagai arbitrator mempunyai keweanangan untuk mengambil keputusan, yang mengikat maupun tidak mengikat.
Identifikasi permasalahan penting dilakukan sebelum merumuskan atau melakukan langkahlangkah penyelesaian. Fisher (dalam Satria, 2002) menjabarkan beberapa cara penyelesaian menurut teori penyebab konflik:
1. Teori Hubungan Masyarakat
Dalam masyarakat yang heterogen, seringkali kegagalan dalam interaksi sosial karena arogansi masingmasing kelompok. Arogansi kelompok tersebut melahirkan polarisasi berkepanjangan. Bahkan, tidak jarang pula diikuti dengan ketidakpercayaan dan permusuhan antar kelompok yang berbeda dalam masyarakat. Contoh konflik ini adalah perkelahian antara warga dari dua wilayah yang berbeda.
Pada umumnya, kegagalan interaksi sosial terjadi karena kurangnya komunikasi dan saling pengertian antar kelompok serta lemahnya toleransi antar kelompok. Akibatnya langkahlangkah penyelesaian konflik harus mengarah pada upayaupaya terwujudnya komunikasi yang kondusif serta meningkatkan saling pengertian dan toleransi antar kelompok. Upaya penyadaran pun perlu dilakukan terhadap masingmasing kelompok agar kedua belah pihak dapat saling memahami dan menerima keragaman yang ada didalamnya.
2. Teori Negosiasi Prinsip
Perbedaan kepentingan dan ketidakselarasan di antara dua pihak seringkali menimbulkan konflik. Konflik jenis ini semakin rumit dengan adanya perbedaan pandangan di antara kedua belah pihak berkenaan konflik itu sendiri. Hal ini terjadi karena salah satu atau kedua belah pihak tidak dapat memisahkan perasaan pribadi dari berbagai masalah dan isu. Akhirnya, seringkali permasalahan menjadi semakin berkembang karena ikut sertanya permasalahan atau perasaan pribadi dalam konflik tersebut.
Hal utama yang menjadi kunci dalam menyelesaikan konflik menurut teori negosiasi prinsip ini adalah obyektivitas kedua belah pihak dalam memandang permasalahan sehingga tidak mencampuradukkan permasalahan pribadi kedalam isu dan permasalahan yang berkembang. Oleh karena itu, upaya penyelesaian yang dapat dilakukan adalah melalui mediator yang mencoba membantu kedua belah pihak dalam memilahmilah antara perasaan pribadi dari permasalahan dan isu. Selain itu mediator berperan juga dalam memberikan fasilitas bagi proses negosiasi di antara kedua belah pihak yang berkonflik dan mengarahkan keduanya pada upaya pencapaian kesepakatan yang saling menguntungkan.
3. Teori Kebutuhan Manusia
Manusia dalam hidupnya memiliki tingkat kebutuhan hidup mulai dari kebutuhan dasar (primer), kebutuhan sekunder hingga kebutuhan tersier (luxury). Secara garis besar, kebutuhan dasar manusia dapat dikelompokkan menjadi kebutuhan fisik (makan, minum, pakaia dan tempat tinggal), kebutuhan mental (beragama atau memiliki kepercayaan), dan kebutuhan sosial (kebutuhan berkumpul, menyatakan pendapat dan menyandang identitas tertentu). Kebutuhan dasar manusia itu harus terpenuhi karena menyangkut hajat hidup manusia.
Isuisu pokok menyangkut kebutuhan manusia yang sering muncul dan menjadi pemicu konflik adalah isu keamanan, identitas, pengakuan, partisipasi dan otonomi. Konflik menurut kebutuhan manusia akan terjadi jika kebutuhan mendasar setiap manusia dihambat atau dibatasi seseorang atau suatu kelompok. Biasanya hambatan yang dirasakan akan menimbulkan perlawanan dari kelompok yang terdiskriminasi untuk memperjuangkan hakhak mereka.
Konflik ini akan selesai jika masingmasing pihak yang berkonflik telah terpenuhi kebutuhan dasarnya sehingga upaya penyelesaian yang perlu dilakukan adalah membantu pihakpihak yang berkonflik dalam mencapai kesepakatan untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka. Jika semua kebutuhan dasar yang dipermasalahkan tidak dapat terpenuhi, pilihanpilihan untuk memenuhi kebutuhan itu pun dapat dibuat.
4. Teori Identitas
Dalam sejarah kehidupan manusia, seringkali terjadi upaya penghancuran suatu kelompok masyarakat karena kekuasaan ataupun karena dendam sejarah karena penderitaan masa lalu. Tindakan suatu kelompok dalam hal ini menjadi ancaman dan ketakutan bagi kelompok lain. Dalam kondisi seimbang, kelompokkelompok yang bertikai akan selalu melancarkan seranganserangan untuk mengalahkan lawannya.
Konflik identitas mengakibatkan kerugian yang tidak sedikit, bahkan seringkali menelan korban nyawa. Upaya rekonsiliasi yang sangat dibutuhkan untuk menyelesaikan konflik ini sehingga diharapkan kedua belah pihak yang bertikai dapat mengurangi tindakan kekerasannya. Proses rekonsiliasi akan tercapai jika kedua belah pihak mau bertemu dan berdialog mengenai permasalahan yang dihadapi. Dalam dialog tersebut perlu diidentifikasikan ancaman dan ketakutan yang dirasakan untuk membangun empati kedua belah pihak. Sasaran yang hendak dicapai dalam upaya penyelesaian konflik ini adalah pengakuan kebutuhan identitas pokok masingmasing pihak yang bertikai.
5. Teori Kesalahpahaman Budaya
Keragaman budaya yang dimiliki oleh bangsa Indonesia, selain sebagai pemersatu bangsa, berpotensi juga menimbulkan konflik. Konflik dapat muncul jika terjadi kesalahpahaman antar budaya disebabkan kurangnya pengetahuan tentang budaya lain. Selain itu, konflik semacam ini muncul juga karena purwa rupa (stereotype) negatif yang dibentuk satu pihak terhadap pihak lain yang mengurangi rasa saling menghormati di antara mereka.
Konflik ini sangat mudah berkembang karena menggugah fanatisme kedaerahan/etnis masingmasing individu. Konflik jenis ini sering terjadi di Indonesia, konflik entar etnis, yang berujung pada tindakan anarkis dan saling menyakiti. Berbeda dengan teori hubungan masyarakat, teori kesalahpahaman antar budaya menjelaskan upaya penyelesaian yang dilakukan hendaknya diarahkan pada upaya menambah pengetahuan pihakpihak yang berpotensi konflik tentang budaya pihak lain. Selain itu, perlu dilakukan upaya untuk mengurangi purwa rupa negatif pihak lain dengan mengefektifkan komunikasi antar budaya.
6. Teori Transformasi Konflik
Asumsi yang digunakan dalam teori transformasi konflik adalah konflik muncul akibat ketidaksetaraan dan ketidakadilan yang muncul sebagai masalahmasalah sosial, budaya, dan ekonomi. Ketidaksetaraan dan ketidakadilan ini seringkali terbangun dalam struktur sosial suatu masyarakat sehingga subordinasi ini dirasakan sebagai tekanan yang terus menerus. Hambatan struktural ini sangat sulit ditembus. Sasaran yang ingin dicapai untuk menyelesaikan konflik ini menurut teori transformasi konflik adalah mengubah struktur yang tidak setara dan tidak adil dalam sistem sosial, budaya maupun ekonomi itu.
Di samping itu, perlu juga menjalin hubungan dan sikap jangka panjang diantara pihakpihak yang berpotensi bertikai. Dewasa ini, upayaupaya untuk mengurangi ketidaksetaraan dan ketidakadilan dalam masyarakat sangat marak dilakukan melalui programprogram pemberdayaan. Isuisu yang perlu dipromosikan dalam menyelesaikan konflik ini adalah isu keadilan, perdamaian, rekonsiliasi, dan pengakuan yang dapat dilakukan melalui pengembangan sistem sosial masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA

Bengen, D.G., 2001. Sinopsis Ekosistem dan Sumberdaya Alam Pesisir dan Lautan. Pusat Kajian Sumberdaya Peisisr dan Lautan, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Bromley, D.W. 1997. Environmental Problems in Southeast Asia: Property Regimes as Cause and Solution. International Development Research Center, Ottawa, Canada.
Cicin‐sain, B dan Knecht, R.W. 1998. Integrated Coastal and Ocean Management: Concept and Practice. Island Press, Washington, D.C.
Dahuri, R. 2000. Pendayagunaan Sumberdaya Kelautan Untuk Kesejahteraan Rakyat. Kerjasama LIPI dengan Ditjen P3K DKP, Jakarta.
Dahuri, R., Rais, J., Ginting, S.P. dan Sitepu, M.J. 2001. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. PT. Pradnya Paramita, Jakarta.
Darwin, M. 2005. Konflik Pemanfaatan Sumberdaya Pesisir Pulau-pulau Kecil di Kecamatan Siantan dan Palmatak Kabupaten Natuna. Tesis. Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. (tidak diterbitkan).
Departemen Kimpraswil. 2003. Tinjauan Aspek Penataan Ruang Dalam Pengelolaan Wilayah Laut dan Pesisir. Seminar Umum Dies Natalis ITS ke‐43 di Surabaya, 8 Oktober 2003.
Kay, R. dan Alder, J. 1999. Coastal Planning and Management. Routledge, New York.
Koentjaraningrat. 1990. Kebudayaan dan Mentalitas. Gramedia, Jakarta.
Kriesberg, L. 1998. Constuctive Conflict: from Escalation to Resolution. Rowman & Littlefield publisher Inc. Maryland.
Masakanah, S. dan F. H. Fuad. 2000 . Inovasi Penyelesaian Sengketa Pengelolaan Sumberdaya Hutan. Pustaka Latin Bogor.
Mitchell, B., Setiawan, B. dan Rahmi, D.W. 2000. Pengelolaan Sumberdaya dan Lingkungan. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Mochran, D.B. 2003. Analisis Konflik dan Resolusi Konflik. Dalam Modul Pelatihan ICZPM.
Satria, A. 2002. Pengantar Sosiologi Masyarakat Pesisir. PT. Pustaka Cidesindo, Jakarta.
Putra, S. dan I. Idris. 2001. Conflicts of Coastal Managementin North Sulawesi. Makalah pada The 7th PRSCO Summer Institute/The 4th IRSA International Conference. Bali, 2002.

4 komentar: