disusun oleh: Miswadi, Gusnan Suryadi, Muhibbin Annas, dan Sugeng Abriyanto
Environmental Science - Riau University, PEKAN
BARU 2012
I. PENDAHULUAN
Setiap tahun masalah banjir selalu terjadi di
berbagai penjuru Indonesia. Mulai dari ujung Sumatera hingga Papua, dari wilayah
terpencil hingga ibu kota negara. Secara geografis, wilayah Indonesia memang dikelilingi oleh
air. Di Pulau-pulau Indonesia terdapat banyak sungai
besar dan kecil, danau, dan telaga. Disamping itu, terdapat lautan dan samudera yang mengelilingi wilayah Kepulauan Indonesia. Kondisi geografis seperti ini
sebenarnya tidak serta-merta menjadikan masalah banjir sebagai sesuatu yang
pasti terjadi.
Banjir dan permasalahannya sangat
terkait erat dengan sumberdaya tanah dimana tanah sebagai sumberdaya mempunyai
makna satuan dan ukuran yang nyata dan konkrit di dalam hal ini dapat berupa
kesuburan, volume (ton), dan luasan (hektar). Keberadaan luasan tanah sebagai
sumberdaya di wilayah Jakarta mempunyai nilai luasan yang tetap yakni ± 650 km2, sedangkan
jumlah penduduk yang mendiami dan menetap di wilayah ini setiap tahunnya
bertambah berdasarkan deret ukur, di mana pertambahan penduduk rata-rata 2,85%
per tahunnya (BPS dalam Tambunan, 2011).
Perkembangan penggunaan lahan perkotaan
selalu diiringi dengan peningkatan jumlah penduduk, aktifitas dan kebutuhan
lahan, baik untuk permukiman maupun kegiatan ekonomi. Karena keterbatasan lahan
di perkotaan, terjadi intervensi kegiatan perkotaan pada lahan yang seharusnya
berfungsi sebagai daerah konservasi dan ruang terbuka hijau. Akibatnya, daerah
resapan air semakin sempit sehingga terjadi peningkatan aliran permukaan dan
erosi. Hal ini berdampak pada pendangkalan (penyempitan) sungai, sehingga air
meluap dan memicu terjadinya bencana banjir, khususnya pada daerah hilir.
Selain itu,
masalah permukiman liar di sepanjang sungai dan budaya masyarakat yang
memposisikan sungai sebagai tempat pembuangan (limbah dan sampah) juga
menyebabkan kondisi sungai tidak terpelihara.
II. PEMBANGUNAN DAN PERUBAHAN LAHAN
Banjir di Kota Jakarta
akan terus terjadi karena pemerintah telah
salah urus dalam mengelola sumberdaya dan penataan ruang kota. Masterplan Kota Jakarta 1965-1985 telah menetapkan daerah
timur Jakarta termasuk Kelapa Gading dan barat Jakarta termasuk wilayah Angke
masuk dalam lahan hijau. Tetapi pada rencana induk 1985-2005 peruntukan lahan
hijau tersebut tidak ada lagi (Rosiyadi, 2011).
Tambunan
(2011) mengemukakan bahwa pertumbuhan kota yang sangat pesat dan kurang sesuai dengan perencanaan
semula tersebut telah merubah
rasio antara daerah konservasi dan daerah perkotaan yang kedap air di hulu
daerah tangkapan air pada
sungai-sungai
yang mengalir ke Jakarta. Pembangunan
ini akan secara langsung menciptakan aliran banjir lebih tinggi yang akan
menimbulkan permasalahan banjir.
Selanjutnya
Tambunan (2011) menyampaikan bahwa akibat pertambahan luas
dan persebaran penggunaan lahan terbangun yang kedap air diantarnya permukiman penduduk dan fasilitasnya pada
saat hujan intensitas lebat, maka air hujan sebagai air limpasan permukaan
tidak dapat masuk (perkolasi) ke dalam tanah karena tanah telah diperkeras oleh
semen dan aspal di bentuklahan aluvial. Sehingga air sungai meluap melewati tanggulnya
dan mengalir ke bagian topografi rendah dan datar di dataran banjir,
rawabelakang, dan dataran aluvial sebagai bentuklahan banjir. Permukiman
masyarakat yang menetap pada permukiman kumuh, dan gubuk-gubuk liar di
sepanjang dataran banjir di 14 aliran sungai.
Daratan sungai sebagai dataran banjir dipergunakan untuk bangunan rumah. Kondisi ini mengurangi daerah
resapan air dan penahan air, serta
terjadi penyempitan
bantaran sungai. Keberadaan bangunan rumah dan fasilitasnya bila hujan besar dapat menyebabkan aliran air pada
permukaan tanah terhambat ke saluran air, dan meluap pada sungai. Kejadian ini mengakibatkan banjir
lebih meluas dan lama.
Untuk
penggunaan lahan di Kota Jakarta dan peruntukkannya, disajikan pada tabel berikut.
Tabel 1. Penggunaan lahan di wilayah DKI Jakarta (Tambunan, 2011)
Provinsi DKI Jakarta dengan luas ± 65.323 Ha, dengan penggunaan lahan berupa
lahan terbangun, lahan basah, dan lahan pertanian yang beragam keruangan dan
temporal baik jenis, luasan dan penyebarannya. Pada tahun 1996, penggunaan lahan
di Provinsi DKI Jakarta yang dominan berupa lahan terbangun 42.108,09 Ha (64,5%)
dimana jenis penggunaan lahan terbangun yang terluas yaitu lahan permukiman.
Luasan lahan permukimam 34.521 Ha atau 82% dari total luasan lahan
terbangunnya. Kemudian penggunaan lahan pertanian 18.535,73 Ha atau 28,4% dan
terakhir berupa luasan terkecil pada penggunaan lahan basah 4.679,27 Ha atau
7,2% dari total luasan provinsinya.
Pada tahun 2002, memiliki pola sama
dengan penggunaan penggunaan lahan di Provinsi DKI Jakarta 1996. Penggunaan
lahan yang dominan berupa lahan terbangun 44.160,98 Ha (67,6%) dimana jenis
penggunaan lahan terbangun yang terluas yaitu lahan permukiman. Luasan lahan
permukimam 40.063 Ha atau 90,7% dari total luasan lahan terbangunnya. Diikuti
oleh penggunaan lahan pertanian 15.246,81 Ha (23,3%) dan terakhir berupa luasan
terkecil pada penggunaan lahan basah 5.915,21 Ha atau 9,1% dari total luasan
provinsinya.
Pada tahun 2007, memiliki pola sama
dengan penggunaan penggunaan lahan di Provinsi DKI Jakarta 1996 dan 2002.
Penggunaan lahan. yang dominan berupa lahan terbangun 49.647,77Ha (76%) dimana
jenis penggunaan lahan terbangun yang terluas yaitu lahan permukiman. Luasan
lahan permukimam 41.695 Ha atau 84% dari total luasan lahan terbangunnya.
Diikuti oleh penggunaan lahan pertanian 14.645,99 Ha (22,4%) dan terakhir
berupa luasan terkecil pada penggunaan lahan basah 1.029,25 Ha atau 1,58% dari
total luasan provinsinya.
Dalam periode lima tahun pertama
(1996-2002) di Provinsi DKI Jakarta, terjadi perubahan penggunaan lahannya
secara kuantitas. Ada penambahan lahan terbangun seluas 2.052,89 Ha, lahan
permukiman 5.542 Ha, dan lahan basah 1.235,94 Ha. Ada penurunan luasan
penggunaan lahan pertanian 3.288,92 Ha menjadi lahan terbangun dan lahan basah
sebagai parkir air pada saat hujan.
Periode lima tahun kedua (2002-2007) di
Provinsi DKI Jakarta, terjadi perubahan penggunaan lahannya secara kuantitas.
Ada penambahan lahan terbangun seluas 5.486,79 Ha atau 50% lebih luas dari periode
pertama, dan lahan permukiman 1.632 Ha. Ada penurunan luasan penggunaan lahan
pertanian 600,82 Ha dan lahan basah 4.885,96 Ha menjadi lahan terbangun
penyebab banjir.
Satu dasawarsa terakhir (1996-2007) di
Provinsi DKI Jakarta mengalami dinamika perubahan penggunaan lahan secara
kuantitas, yaitu perubaha positif terjadi pada penggunaan lahan terbangun
seluas 7539,68 Ha atau 11,5% dari luas provinsi. Dimana rata-rata penambahan
luasan lahan terbangun mencapai 750 hektar per tahunnya, dominan berupa lahan
permukiman seluas 7.174 Ha. Sedangkan penggunaan lahan pertanian dan lahan
basah kecenderungan mengalami penurunan sebesar 3.500 hektar atau 350 hektar setiap
tahunnya yang digunakan sebagai lahan terbangun, seperti lahan permukiman.
III. PENYEBAB BANJIR
Tak seperti gempa bumi,
topan badai, atau gunung meletus yang murni merupakan bencana alam, kebanyakan masalah banjir bukan terjadi semata-mata
karena bencana alam. Artinya, banjir ini terjadi karena ada perbuatan manusia
yang menyebabkannya.
Dengan mengambil studi kasus wilayah DKI Jakarta sebagai kota
metropolis di Indonesia, kita akan melihat dan menelaah kejadian banjir yang
tak kunjung usai.
1. Kondisi alamiah
Banjir terjadi karena
kondisi alam berupa curah hujan yang tinggi
dan topografi daerah yang rendah. Selain itu, perpaduan antara curah hujan yang
tinggi dengan kemampuan pengelolaan kota untuk
mengatur aliran air (sungai, kanal, gorong-gorong, selokan) yang kurang tepat. Kemudian juga, kondisi
ketinggian suatu kawasan dan karakteristik ketinggian daerah sekitarnya
(topografi) serta kemampuan suatu kawasan untuk meresapkan air secara
optimal.
Secara topografi kondisi wilayah DKI Jakarta di bawah
permukaan air laut pasang dan dilalui 13 sistem Daerah Aliran Sungai (DAS) yang
berpotensi menggenangi 40% (24.000 ha) dataran rendah
yang memiliki ketinggian 1-1,5 meter di bawah
permukaan air laut pasang. Bentang alam
DKI Jakarta didominasi dataran rawa, pantai dan sungai hingga genangan laguna.
Jenis tanahnya didominasi tekstur liat berdebu hingga lempung berdebu yang
memiliki kemampuan serap air rendah dan mudah jenuh. DKI Jakarta
bahkan dapat mengalami banjir karena hujan yang turun di daerahnya
sendiri cukup dengan 50-100 mm/hari. Sedangkan
kejadian banjir pada Februari 2007, curah hujan
mencapai lebih dari 200 mm/hari.
2. Pertumbuhan penduduk dan
perubahan lahan
Secara demografi wilayah DKI Jakarta memiliki
kepadatan 13.000 – 15.000 jiwa per-kilometer persegi. Pertambahan penduduk
perkotaan yang tinggi dan terus meningkat dari waktu ke waktu berdampak pada
bertambah tingginya tekanan terhadap pemanfaatan ruang kota, sedangkan
sumberdaya lahan yang tersedia di kota sangat
terbatas, sehingga
untuk memenuhi kebutuhan lahan perumahan, penduduk pada kategori kurang mampu akan mengubah lahan tersebut menjadi
tempat tinggal. Hal inilah yang pada akhirnya mempengaruhi pola penggunaan
lahan di DKI Jakarta.
Sejak tahun 1972 hingga 2005 mengalami alih fungsi
lahan, kehilangan
30,3% areal vegetasi hutan dan kehilangan 11.9% areal bervegetasi kebun
campuran.
3. Berkurangnya daerah resapan
air dan ruang terbuka hijau
Daerah resapan merupakan daerah tempat masuknya
air ke dalam tanah, umumnya melalui permukaan dan secara vertikal. Masuknya air
dari luar ke permukaan tanah biasa disebut infiltrasi sedangkan peristiwa
bergeraknya air ke bawah dalam profil tanah biasa disebut perkolasi. Daerah
resapan tidak bisa lepas dari infiltrasi dan perkolasi. Daerah resapan berperan
dalam pengendalian banjir, semakin banyak pori tanah yang tertutup oleh
bangunan atau gedung, daerah resapan akan semakin kecil sehingga memperbesar
terjadinya air yang mengalir di permukaan dan menyebabkan terjadinya banjir.
Daerah tangkapan air semakin berkurang di hulu
Ciliwung. Pada tahun 1996 lahan tangkapan
air yang tersedia seluas 6.650 km2,
pada tahun 2006 menjadi seluas 5.412 km2.
4. Penggundulan hutan
Kerusakan hutan terjadi akibat penebangan baik yang dilakukan secara
legal maupun secara liar (illegal). Penebangan hutan yang
tidak terkendali dengan tidak memperhatikan faktor lingkungan ini berakibat pada penggundulan hutan. Hutan yang gundul menyebabkan air
hujan yang jatuh tak dapat diserap. Air hujan ini terus mengalir mencari tempat
yang rendah. Bencana banjir
terjadi di daratan yang lebih rendah.
5. Pendangkalan sungai
Masalah banjir juga bisa terjadi karena
pendangkalan sungai. Faktor pendangkalan sungai termasuk faktor
penting pada kejadian banjir. Pendangkalan sungai berarti terjadinya pengecilan
tampang sungai, hingga sungai tidak mampu mengalirkan air yang melewatinya dan
akhirnya meluap. Pendangkalan sungai dapat diakibatkan oleh proses pengendapan
(sedimentasi) terus-menerus atau terjadi karena endapan lumpur yang
terbawa dari daerah yang lebih tinggi atau karena tumpukan sampah, terutama di bagian hilir sungai. Masalah pendangkalan sungai sudah sangat
serius dan ditemukan di hampir seluruh daerah hilir/muara di Indonesia.
Di Bandung misalnya, 20% dari sampah dan limbah
domestik yang dihasilkan setiap hari dibuang ke sungai. Angka ini setara
dengan 7000 meter kubik. Pendangkalan sungai ini jelas
mengurangi kemampuan sungai untuk menampung air, akhirnya air dari badan sungai
meluap ke daratan.
Kali Ciliwung memiliki lebar yang semakin menyempit dari 65 meter tinggal 15-20 meter dan semakin
dangkal dari 5 meter tinggal 1-2 meter karena sampah (7.000 ton/hari) dan
banyaknya pemukiman liar di bantaran
sungai.
6. Perubahan peruntukan bantaran sungai
Di kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, atau Surabaya,
bantaran sungai yang seharusnya menjadi area penghijauan dan pencegah banjir
atau erosi telah berubah menjadi tempat pemukiman warga. Perubahan peruntukan
ini ditambah dengan perilaku warga yang membuang sampah ke sungai, membuat
masalah banjir di perkotaan semakin parah.
7. Tidak berfungsi
dengan baik saluran pembuangan air
Saluran pembuangan air seperti selokan
sering tak berfungsi. Selain sempit dan tersumbat oleh sampah, juga mengalami pendangkalan. Akibatnya
ketika hujan turun, air pun meluap.
IV. DAMPAK TERJADINYA BANJIR
Banjir yang melanda Jakarta
biasanya berdampak pada seluruh kawasan yang tergenang banjir menjadi lumpuh.
Jaringan komunikasi
(telepon dan internet) terganggu, listrik di
sejumlah kawasan yang terendam juga padam, sehingga
menyebabkan lampu lalu lintas padam dan kemacetan terjadi di banyak lokasi,
termasuk di jalan tol dalam kota. Genangan-genangan air di jalan hingga berukuran satu meter lebih
menyebabkan sejumlah akses transportasi menjadi terganggu, sebagian
jalur kereta api menjadi
lumpuh.
Banjir besar Jakarta pada tahun 2007
sewaktu-waktu bisa terulang. Situasi itu, bisa terjadi jika dalam kurun waktu 12 jam,
terjadi hujan lebat di Bogor, Jakarta, dan Laut Jawa. Curah hujan di Bogor 400
milimeter per hari, lebih dari 150 milimeter di Jakarta, dan 150-200 milimeter
di laut, dikhawatirkan bakal melumpuhkan ibukota. Akibat
bencana banjir yang melanda Jakarta, kerugian ditaksir bisa menelan hingga
Rp 37 triliun. Dampak itu paling besar bakal dialami warga dan sektor industry (Damayanti, 2010).
Kerugian yang di alami oleh semua orang
yang merasakan banjir disebut dampak
dari banjir itu sendiri. Dampak banjir yang di alami oleh setiap orang
sangat-sangat merugikan apa lagi jika banjir itu berlangsung sangat lama.
Segala aktivitas masyarakat dapat terganggu,
lingkungan
di sekitar masyarakat menjadi tidak nyaman dan dapat menimbulkan berbagai macam
penyakit. Beberapa
contoh dari dampak banjir yang merugikan masyarakat. Banjir berdampak pada kesehatan
manusia, semua warga yang terkena banjir kesehatannya dapat terganggu karena
dapat menderita berbagai penyakit yang di sebabkan oleh banjir salah satunya
penyakit gatal-gatal pada kulit karena di limgkungan sekitar yang terkena
banjir akan tergenang banyak sampah-sampah dan lalat-lalat yang terbawa air dan
membusuk (Adzaniah,
2011).
Selanjutnya
Adzaniah (2011) menyatakan bahwa banjir berdampak pada
aktifitas manusia, bila banjir datang semua manusia yang kediamannya terkena banjir secara tidak
langsung menjadi susah
untuk melakukan aktifitas di
luar rumah
dan semua pekerjaan
menjadi
terganggu dan dapat menyebabkan kerugian.
V. PENANGANAN DAN SOLUSI
Bencana banjir merupakan
kejadian alam yang dapat terjadi setiap saat dan sering mengakibatkan
kehilangan jiwa, kerugian harta, dan benda. Kejadian banjir tidak dapat
dicegah, namun dapat dikendalikan dan dikurangi dampak kerugian yang
diakibatkannya. Karena datangnya relatif cepat, untuk mengurangi kerugian akibat
bencana tersebut perlu dipersiapkan penanganan secara cepat, tepat, dan terpadu berupa
pengendalian dan penanggulangannya.
Banjir yang pada
hakekatnya merupakan
proses alamiah yang dapat menjadi
bencana bagi manusia bila proses itu mengenai manusia dan menyebabkan kerugian
jiwa maupun materi. Dalam konteks sistem alam, banjir terjadi pada tempatnya.
Banjir akan mengenai manusia jika mereka mendiami daerah yang secara alamiah
merupakan dataran banjir. Bencana banjir yang
dialami manusia sebenarnya adalah hasil dari kegagalan
manusia dalam membaca karakter alam. Kegagalan manusia membaca apakah suatu
daerah aman atau tidak untuk didiami. Misalnya, kegagalan manusia membaca
karakter suatu daerah sehingga tidak mengetahui daerah tersebut merupakan
daerah banjir. Atau, sudah mengetahui daerah tersebut daerah banjir tetapi
tidak peduli. Contoh ini bisa kita lihat dari orang-orang yang memilih tinggal
di tepi aliran sungai atau di lembah-lembah sungai.
Menghadapi masalah
banjir, setidaknya kita memiliki tiga pilihan, yaitu: jangan mendiami daerah
aliran banjir, beradaptasi dengan membuat rumah panggung berkaki tinggi, atau
membuat pengendali banjir berupa tanggul, kanal, atau mengalihkan aliran air.
1. Perencanaan tata ruang
Perencanaan tata
ruang merupakan prespektif menuju keadaan pada masa depan yang diharapkan,
bertitik tolak dari data, informasi, ilmu pengetahuan dan teknologi yang dapat
dipakai, serta memeperhatikan keragaman wawasan kegiatan setiap sektor.
Perkembangan masyarakat dan lingkungan hidup berlangsung secara dinamis. Ilmu pengetahuan dan teknologi berkembang
seiring dengan berjalannya waktu. Oleh karena itu, agar rencana tata ruang yang
telah disusun itu tetap sesuai dengan tuntutan pembangunan dan
perkembangan keadaan, rencana tata ruang dapat ditinjau kembali dan atau
disempurnakan kembali.
2. Perluasan
ruang resapan air
Untuk memperluas ruang resapan air dapat dilakukan dengan cara membuat
lubang resapan biopori (Brata dalam
Arif, 2010). Lubang resapan biopori adalah teknologi tepat guna dan ramah lingkungan
untuk mengatasi banjir dengan cara (1) meningkatkan daya resapan air, (2)
mengubah sampah organik menjadi kompos dan mengurangi emisi gas rumah kaca (CO2
dan metan), dan (3) memanfaatkan peran aktivitas fauna tanah dan akar tanaman,
dan mengatasi masalah yang ditimbulkan oleh genangan air seperti penyakit demam
berdarah dan malaria.
Selanjutnya memperluas ruang terbuka hijau, berupa membangun dan
memelihara taman-taman kota dan melakukan penghijauan di sepanjang bantaran
sungai. Daerah bantaran sungai yang telah dibangun permukiman penduduk,
hendaknya mampu dikembalikan menjadi ruang terbuka hijau.
3. Melakukan
penghijauan
Pada hutan-hutan yang telah gundul di daerah hulu dapat dikembalikan
dengan melakukan tindakan penghijauan dan penanaman hutan kembali.
4. Memperlancar
aliran air di sungai dan saluran air
Terhadap sungai-sungai dan saluran air yang mengalami pendangkalan dan
penyumbatan aliran air akibat sampah dapat dilakukan pengerukan atau
normalisasi aliran air untuk memperlancar aliran air di saat musim hujan.
5. Perubahan
perilaku masyarakat
Pratondo (2002) mengemukakan bahwa perilaku masyarakat penyebab banjir
meliputi penggundulan hutan, pembuangan sampah di sungai, pembangunan pemukiman di
bantaran sungai, dan pembangunan pemukiman yang diluar tata ruang peruntukan. Perilaku
masyarakat yang negatif seperti membuang sampah sembarangan khususnya pada daerah
aliran sungai sehingga kapasitas sungai tidak mencukupi dan terjadi luapan air
yang mengakibatkan banjir atau saluran air (selokan) yang tersumbat oleh
sampah sehingga air yang seharusnya mengalir di saluran air (selokan) menjadi meluap ke badan jalan. Keadaan ini dapat memperbesar
dan mempercepat terjadinya banjir dan kondisi ini diakibatkan oleh perilaku manusia.
Dengan demikian,
untuk mengantisipasi terjadinya banjir dapat dilakukan dengan merubah perilaku
manusia untuk tidak melakukan penggundulan hutan, pembuangan sampah di
sungai, pembangunan pemukiman di bantaran sungai, dan pembangunan pemukiman yang diluar tata
ruang peruntukan.
VI. PENUTUP
Jakarta sering terjadi
banjir disebabkan letak geografis ibukota Jakarta yang lebih rendah yang dapat menyebabkan banjir.
Pembangunan yang terlalu padat serta banyaknya kerusakan lingkungan dengan
banyaknya sampah yang dibuang sembarangan dan tidak adanya pohon-pohon yang
dapat meresap air menjadikan
banjir di ibukota Jakarta sering terjadi.
Banjir yang melanda Jakarta
biasanya berdampak pada seluruh di kawasan yang tergenang banjir menjadi lumpuh.
Jaringan komunikasi,
transportasi dan kelistrikan menjadi terganggu.
Listrik di sejumlah kawasan yang terendam menjadi padam, juga menyebabkan
lampu lalu lintas menjadi
padam sehingga terjadi kemacetan lalu lintas di berbagai lokasi di Jakarta.
Usaha pemerintah untuk
mencegah banjir, diantaranya
melakukan normalisasi sungai, pembangunan
situ/waduk, dan
melakukan penghijauan. Usaha pemerintah tersebut tidak
akan efektif tanpa kerjasama dan peran aktif masyarakat. Masyarakat
diharapkan tidak membuang sampah sembarangan dan selalu membuang sampah pada
tempatnya dan tidak menebang pohon secara liar agar kestabilan alam dan
lingkungan dapat terjaga.
Pemerintah
juga diharapkan mampu menyusun kebijakan tentang tata ruang perkotaan yang
memiliki makna keseimbangan lingkungan hidup, tidak hanya memenuhi porsi
pertumbuhan ekonomi.
DAFTAR PUSTAKA
Adzaniah, D., 2011. Dampak Banjir Untuk Lingkungan.
Artikel. http://adzaniahdinda.wordpress.com/2011/10/11/dampak-banjir-untuk-lingkungan/, [27-01-2012].
Arif, Z., 2010. Biopori; Solusi Banjir di Perkotaan,
Artikel. http://zainalarif.wordpress.com/2010/05/21/biopori-solusi-banjir-di-perkotaan/, [25-01-2012].
Damayanti, M., 2010. Penyebab Banjir di Jakarta. Artikel.
http://damayantimaia.blogspot.com/2010/03/makalah-penyebab-banjir-dijakarta.html, [25-01-2012].
Pratondo, B. J., 2002. Sistem Penanggulangan Banjir di
Jabotabek. Makalah Falsafah Sains, Program Pasca Sarjana
Institut Pertanian Bogor.
Rosiyadi, I., 2011. Musibah Banjir, Makalah. http://ismorosiyadi.blogspot.com/2011/11/makalah-banjir.html [27-01-2012].
Tambunan, M.P., 2011. Kaitan Penggunaan Lahan dengan
Banjir. Makalah
Seminar Nasional dan Pertemuan Ilmiah Tahunan XIV Ikatan Geografi Indonesia,
Universitas Pendidikan Ganesha, Singaraja.
Bali 11 November 2011.
depht comment..
BalasHapus