PELUANG
PASAR BEBAS BAGI PARA UMKM DI DAERAH[1]
Miswadi
outsourcing pada Bahtera Melayu-Riau
PENDAHULUAN
Pertumbuhan ekonomi nasional sangat ditentukan oleh
dinamika perekonomian daerah, sedangkan perekonomian daerah pada umumnya
ditopang oleh kegiatan ekonomi bersakala kecil dan menengah. Unit usaha yang
masuk dalam kategori Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) merupakan urat nadi
perekonomian daerah dan nasional. Sektor Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM)
merupakan usaha yang tangguh di tengah krisis ekonomi. Saat ini sekitar 99%
pelaku ekonomi mayoritas adalah pelaku usaha UMKM yang terus tumbuh secara
signifikan dan menjadi sektor usaha yang mampu menjadi penopang stabilitas
perekonomian nasional (Hamid, 2010).
Pasar
bebas adalah pasar ideal, di mana seluruh keputusan
ekonomi dan aksi oleh individu yang berhubungan dengan uang, barang, dan jasa
adalah sukarela, dan oleh karena itu tanpa maling (Anonim,
2012). Sebaliknya
Adian (2012) mengemukakan bahwa pasar bebas
adalah jargon ilusif sekaligus diskriminatif. Jargon itu selalu ditudingkan
pada negara berkembang yang berusaha keras melindungi kepentingan nasionalnya.
Namun, jargon serupa tidak pernah dilontarkan kepada negara maju yang melakukan
hal serupa. Indonesia, misalnya, dituduh tidak kondusif bagi investasi asing. Namun,
sebaliknya, apakah negara maju juga membuka pintu ekonominya bagi Indonesia?
Barang-barang ekspor kita selalu dituduh kumuh, tidak higienis, dan berbahaya
berdasarkan tolok ukur yang dibuat (buat) negara maju.
Menurut
Halid dalam Antara News (2012)
mengemukakan bahwa pasar bebas tidak cocok di Indonesia, penerapan pasar bebas di Indonesia
seharusnya tidak semua potensi ekonomi yang ada diserahkan pada pasar, ada banyak potensi ekonomi yang
harus tetap dilindungi untuk menguatkan perekonomian nasional, termasuk
koperasi. Selanjutnya dikemukakan bahwa para pengambil kebijakan belum
menyentuh keberadaan koperasi sebagai salah satu pelaku ekonomi yang cukup
penting untuk memperkokoh perekonomian bangsa dan pemerintah mesti menciptakan regulasi demi
bangkitnya perkoperasian di Tanah Air.
Selanjutnya menurut Herlas
(2011) mengemukakan bahwa dampak perdagangan bebas
tahun per tahun dipastikan kian menguat dan berpengaruh kian signifikan bagi
produk dalam negeri, terutama produk UMKM. Sehingga dengan demikian perlu meningkatkan daya saing produk, perlu dukungan kebijakan pemerintah yang lebih
berpihak pada para pelaku usaha dalam negeri. Dengan demikian para pelaku usaha terutama UMKM
wajib melakukan evaluasi pasar sepanjang tahun
berjalan untuk
menetapkan strategi pemasaran pada tahun berikutnya. Sejumlah pelaku UMKM di Indonesia
belum kuat bergulat di pasar bebas. Hal tersebut perlu segera diatasi dengan
memperkuat kelembagaan dan komunitas masing-masing dalam meningkatkan daya
saing dan perkuatan pasar dalam negeri. Kondisi tersebut merupakan salah satu kelemahan yang perlu
segera dibenahi dan pemasaran produk saat ini tidak bisa dilakukan secara
sektoral atau per individu melainkan perlu ada penguatan komunitas pelaku UMKM
agar daya saing produk dalam negeri makin meningkat. Di sisi
lainnya perlu adanya jaringan distribusi
dan pemasaran produk yang lebih efektif bagi produk-produk UMKM. Saat ini
pemasaran produk UMKM terkadang harus melalui broker atau perantara karena
keterbatasan jaringan.
Adiputro (2011) mengemukakan bahwa gerakan proteksi dan ide menentang pasar bebas
kembali mengemuka di pentas publik. Mari Pangestu seorang Doktor Ekonomi,
akademisi yang teruji dan seorang menteri yang punya networking internasional yang luas, ternyata cuma berakhir pada cap
sebagai seorang neolib, kapitalis dan pro barang impor. Beberapa hari
belakangan, para pendemo memasang foto Mari dan Gita dengan rupa seperti
drakula yang menghisap darah rakyat karena kebijakannya yang dianggap pro
asing. Memang dalam ekonomi, masyarakat awam cenderung lebih gampang
menuduh daripada mendengarkan penjelasan tuduhannya. Banyak yang menganggap bahwa krisis ekonomi
global yang melanda pada 2008 dan 2011 ini sebagai pertanda hancurnya sistem
liberalisasi ekonomi dan perdagangan bebas. Kelompok kiri mengangkat kembali
ide sosialisme baru ala Chavez dan Morales. Sementara kelompok Islam
beranggapan kini waktunya menggunakan sistem ekonomi syariah. Terlepas dari
berapa angka impor yang membanjiri Indonesia, tidak bisa dinafikan bahwa pasar bebas adalah sebuah
keniscayaan jaman modern. Premis
proteksionisme adalah meningkatnya kesejahteraan nasional ketika pemerintah
memperkenankan monopoli bagi produsen dalam negeri. Sepanjang pemikiran ilmu
ekonomi, pengalaman sejarah, dan berbagai studi empiris,premis tersebut
terbukti berkali-kali salah. Proteksionisme justru melahirkan
kemiskinan, bukan kesejahteraan.
Bahkan juga tidak melindungi lapangan kerja maupun industri dalam
negeri. Sebaliknya, justru menghancurkannya, merugikan industri-industri ekspor
dan industri-industri yang berbasis impor. Misalnya saja menaikkan harga baja untuk “melindungi”
perusahaan-perusahaan baja lokal hanya berakibat pada naiknya ongkos produksi
mobil dan banyak produk lain yang terbuat dari baja. Begitupun dengan
pertanian, yang sepertinya ‘sah’ jika masyarakat Indonesia yang berbasis
konsumen ini harus membayar lebih mahal untuk komoditi pertanian, sebagai
upaya afirmasi bagi petani. Bukan hanya dampak ekonomi, tapi proteksi juga
berpotensi mengancam perdamaian. Seorang filsuf Montesquieu sampai
menyimpulkan bahwa “perdamaian
adalah produk alamiah perdagangan”. Dua bangsa yang berbeda satu sama lain menjadi saling tergantung
karena perdagangan. Saat satu pihak berkepentingan untuk menjual dan pihak lain
tertarik untuk membeli, terjalinlah hubungan yang terbangun dari rasa saling
membutuhkan.
PERMASALAHAN UMKM DALAM PASAR
BEBAS
UMKM merupakan tulang punggung ekonomi yang dielu-elukan, namun kenyataannya kurang nutrisi. Bahkan
sudah mulai dirusak dan dibuat bunga tinggi pada perkreditannya. Kredit
Perbankan yang bersifat
konvensional untuk UMKM yang cukup tinggi belum berdampak signifikan terhadap pengembangan usaha rakyat. Banyak fasilitas kredit konsumtif pengembangan usaha rakyat memperlihatkan belum terdapat
hasil optimal bahkan bisa merusak mayoritas pengusaha UMKM dari berbagai upaya
pemerintah yang tak terkoordinasi (Tanjung, 2008).
Beberapa masalah yang terjadi pada UMKM dalam
pemasaran diantaranya
- Kurangnya jaringan kerja (networking) dalam mendukung proses produksi (seperti penediaan bahan baku) dan akses pasar, serta akses-akses lainnya dalam mendukung kelancaran usahanya.
- Kurang dimilikinya unsur pembeda dalam produk dan strategi pemasaran, sehingga tidak mampu memperoleh pasar yang layak dalam bersaing dengan produk yang sama.
- Pencitraan yang masih minim yang merupakan strategi promosi produk untuk memperoleh segmen pasar yang jelas.
- Regulasi pemerintah yang masih kurang berpihak terhadap kreativitas UMKM serta dalam memfasilitasi produk UMKM pada pasar yang layak.
Menurut Avonina (2011) membagi permasalahan pada UMKM
pada dua bentuk, yaitu permasalahan internal dan ekternal. Untuk permasalahan
internal diantaranya: 1) kurangnya permodalan dan terbatasnya akses pembiayaan; 2) kualitas sumberdaya manusia (SDM) meliputi: a) lemahnya jaringan usaha dan kemampuan penetrasi pasar; b) mentalitas pengusaha UKM; c) kurangnya transparansi.
Sedangkan permasalahan ekternal diantaranya: 1) iklim usaha belum sepenuhnya kondusif; 2) terbatasnya sarana dan prasarana usaha; 3) adanya pungutan liar; 4) implikasi otonomi daerah; 5) implikasi perdagangan bebas; 6) sifat produk dengan ketahanan yang pendek; 7) terbatasnya akses pasar; dan 8) terbatasnya akses informasi.
Dalam
kaitannya dengan pasar bebas, UMKM dihadapkan pada berbagai produk yang
bersaing ketat dalam memperoleh pasar dan konsumen. UMKM harus pula
mempertimbangkan standar kualitas, harga dan segmen pasarnya. Tidak pula jarang
ditemukan banyak UMKM dalam produk yang dihasilkannya lebih mementingkan
kualitas dengan konsekwensinya adalah pada harga penjualan sehingga kesulitan
dalam memperoleh segmen pasar. Akibatnya, banyak produksi UMKM (usaha yang tengah
digeluti) tidak mampu bertahan (sustainable).
PENGALAMAN PENDAMPINGAN UMKM
DALAM PEMASARAN
Pemasaran merupakan suatu hal penting bagi UMKM dalam
kaitannya dengan hasil produksi. Seringkali UMKM mengalami kendala dalam
memasarkan produk-produknya. Kendala dasar yang dialami oleh UMKM diantaranya
produk tidak memperoleh harga yang sesuai dengan biaya produksi yang
dikeluarkan, meskipun terkadang memperoleh harga yang berada pada harga diatas
harga pokok, namun sangat kecil margin yang diperoleh sehingga usaha UMKM
seringkali tidak berlanjut dan berkembang dengan baik. Disamping itu, pasar yang
menjadi tempat penghubung produk produsen ke konsumen hanyalah pasar lokal.
Kondisi itu setidaknya terjadi di Riau terutama UMKM
di pedesaan Kabupaten Bengkalis. Kemampuan dan keberhasilan dalam produksi
ternyata tidak mampu menembus pasar baik lokal maupun luar daerah yang bersaing
dengan produksi.
Pendampingan yang dilakukan selama ini, terutama oleh
Bahtera Melayu beserta rekan-rekan (merupakan BDS dengan basic LSM/NGO) lebih kepada upaya pemberdayaan masyarakat pada
pengelolaan sumberdaya alam wilayah pesisir dengan sasaran pengembangan ekonomi
produktif bagi masyarakat pesisir di sekitar sumberdaya alam.
Pengenalan diversifikasi terhadap potensi yang ada,
teknologi tepat guna, hamper seluruhnya mampu dilakukan masyarakat baik secara
sendiri-sendiri maupun berkelompok. Akan tetapi kegiatan usaha yang dirintis
melalui konsep fasilitasi tidak mampu sustainable.
Segmen pasar hanyalah pasar local atau masyarakat sekitar. Begitu diarahkan
untuk pasar luar daerah tidak mampu bersaing dengan produk lainnya. Banyak hal
yang menjadi latar belakang kondisi ini, tetapi satu hal yang penting dicermati
adalah minimnya sifat dan sikap wirausaha. Masyarakat masih banyak tergantung
pada kekayaan sumberdaya alam yang ada.
Keberhasilan
produk yang diproduksi masyarakat pesisir kurang mampu memperoleh segmen pasar
diantaranya juga mengenai kemasan, izin, standar produk yang tinggi sehingga
berkonsekuensi pada harga yang tinggi pula. Banak pula kegiatan ekonomi yang
dikembangkan tidak mampu menjadi usaha pokok akan tetapi lebih dekat kepada
usaha alternative (sambilan) dalam upaya peningkatan ekonomi rumah tangga
nelayan.
SARAN-SARAN
Beberapa hal yang mampu disarankan dalam tulisan ini
dalam upaya sustainability UMKM untuk
menghadapi pasar bebas, diantaranya:
- Merubah pemahaman tentang konsep menjalankan usaha dengan jiwa wirausaha yang tepat sehingga diperlukan pemantapan sikap dan perilaku wirausaha.
- Memperbaiki produk seperti kemasan, standar produk sesuai pasar, biaya produksi dan harga jual, kuantitas produk dan luasan pasar, serta memperhatikan produk saingan sebagai kompetitor.
- Memperluas jaringan (networking) UMKM yang solid baik dalam penyediaan bahan baku produksi maupun dalam memperoleh pasar. Kerjasama yang baik antar jejaring setidaknya mampu memperkuat dan mempertahankan sustainability UMKM.
- Mempertimbangkan kegiatan usaha yang dikembangkan terhadap keberlanjutan fungsi lingkungan hidup.
- Peningkatan fungsi fasilitasi dan regulasi pemerintah dalam pengembangan UMKM di daerah, yang tidak hanya sebatas dalam penyediaan pembiayaan.
DAFTAR
PUSTAKA
Adian, D.G., (2012). Ironi Pasar Bebas.
Antara News, 2012. Nurdin Halid : Pasar Bebas
Tidak Cocok di
Indonesia. Dalam Maruli, A (Ed.).
http://www.antaranews.com/berita/295461/nurdin-halid--pasar-bebas-tidak-cocok-di-indonesia (tanggal akses 24 Apr 2012).
Avonina, S., 2011. Mengatasi
Permasalahan Usaha Kecil. http://galeriukm.web.id/artikel-usaha/mengatasi-permasalahan-usaha-kecil (tanggal akses 25 Apr 2012).
Hamid, E.S., 2010. Pengembangan Umkm Untuk Meningkatkan Pertumbuhan Ekonomi
Daerah.
Makalah pada Simposium Nasional: Menuju Purworejo Dinamis dan Kreatif.
Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta.
Herlas, 2011. Dampak Perdagangan Bebas terhadap UMKM Kian Meningkat. http://www.investor.co.id/home/dampak-perdagangan-bebas-terhadap-umkm-kian-meningkat/2282 (tanggal akses 22 Apr 2012).
Tanjung, D. E., 2008. Persoalan
Utama UMKM. http://translate.google.co.id/translate?hl=id&langpair=en%7Cid&u=http://usaha-umkm.blog.com/2008/08/04/persoalan-utama-umkm/ (tanggal akses 24 Apr 2012).
[1] Disusun sebagai artikel bebas dalam kegiatan Bimbingan
dan Konsultasi Peningkatan Standar Konsultan Pendamping LPB/BDS-P; Kementerian
Koperasi dan UKM dan Universitas Sebelas Maret; Surakarta 22-27 April 2010.
menuju UMKM yang mandiri..!
BalasHapusBDS-P..konsultan pendamping
BalasHapus