PERPADUAN TUJUAN
KONSERVASI DAN EKONOMI
DALAM UPAYA PELESTARIAN
HUTAN MANGROVE
disusun oleh: MISWADI; Editor: Prof. Dr. Adnan Kasry
Environmental Science - Riau University, Pekanbaru, 2011
Hutan mangrove merupakan salah satu bentuk ekosistem hutan yang unik dan khas,
terdapat di daerah pasang/surut
di wilayah pesisir, pantai, ataupun
pulau-pulau kecil dan merupakan potensi sumberdaya alam yang sangat potensial.
Hutan mangrove memiliki nilai ekonomis dan ekologis yang tinggi, tetapi sangat
rentan terjadinya
kerusakan apabila kurang bijaksana dalam mempertahankan, melestarikan dan melakukan pengelolaannya (Waryono dan Yulianto, 2002).
Dalam
pendapat yang sama, Nirwasita (2011) mengatakan bahwa hutan
mangrove sebagai salah satu ekosistem wilayah pesisir yang sangat potensial
bagi kesejahteraan masyarakat baik dari segi ekonomi, sosial dan lingkungan
hidup, namun sudah semakin kritis ketersediaannya. Kondisi kritis tersebut menyebabkan
kerusakan-kerusakan pada ekosistem mangrove yang berakibat pada penurunan luasan
mangrove. Kusmana (dalam Suhaima, 2010) menyebutkan bahwa
kerusakan ekosistem mangrove terjadi karena pengaruh dua faktor, yaitu faktor
alam dan faktor manusia. Dari faktor alam, kerusakan tersebut dapat terjadi
melalui pengaruh proses sedimentasi maupun kenaikan permukaan air laut. Sedangkan
dari faktor manusia, kerusakan yang terjadi merupakan akibat perilaku manusia
itu sendiri seperti eksploitasi hutan mangrove yang tidak terkendali dan pencemaran
di perairan estuaria tempat lokasi tumbuhnya mangrove.
Di beberapa daerah wilayah pesisir di
Indonesia sudah terlihat adanya degradasi pada hutan mangrove akibat penebangan
hutan mangrove yang melampaui batas kelestariannya. Hutan mangrove telah
dirubah menjadi berbagai kegiatan pembangunan seperti perluasan areal
pertanian, pengembangan budidaya pertambakan, pembangunan dermaga dan
sebagainya (Nirwasita,
2011).
Selain
pengubahan alih fungsi lahan mangrove untuk kegiatan pembangunan, penebangan
terhadap mangrove dilakukan untuk memenuhi kebutuhan akan biomassa yang
dimanfaatkan dari kayu mangrove itu sendiri. Pada umumnya
jenis-jenis mangrove
yang dimanfaatkan
masyarakat secara
lokal adalah untuk
kayu bakar,
bahan bangunan, dan bahan baku
chip (Anwar dan Gunawan, 2006), serta bahan perabotan.
Komoditas utama kayu mangrove untuk
diperdagangkan secara internasional adalah arang yang berasal dari Rhizophora spp. yang mempunyai nilai
kalori sangat tinggi (Mangrove
Information Center, 2003).
Produksi arang bakau telah berlangsung puluhan tahun yang lalu.
Menurut Santoso (1999) memperkirakan bahwa dapur arang di daerah Gunung Terjun
(Kecamatan Kubu, Kalimatan Barat) telah dibangun sejak 1913 oleh masyarakat
dari suku Tionghoa.
Hutan mangrove
yang mempunyai peran dan fungsi yang penting, namun kondisi hutan mangrove saat
ini telah mengalami banyak kerusakan. Terjadinya degradasi pada hutan mangrove diantaranya karena tindakan
manusia. Tekanan yang
berlebihan terhadap kawasan hutan mangrove untuk berbagai kepentingan tanpa
mengindahkan kaidah-kaidah pelestarian alam telah mengakibatkan terjadinya
penurunan luas hutan mangrove yang cukup drastis. Seiring dengan laju percepatan kerusakan hutan
mangrove, Pemerintah Indonesia telah melakukan berbagai langkah perbaikan dan
pemulihan kawasan diantaranya dengan melaksanakan berbagai proyek rehabilitasi
dan restorasi baik yang dilakukan pemerintah sendiri maupun melalui kerjasama
dengan pemerintah negara lain. Meskipun kegiatan penghijauan kembali (reboisasi) dan pemulihan kembali (restorasi) hutan
mangrove di beberapa daerah, baik di Pulau Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, maupun Irian Jaya telah berulangkali dilakukan, namun
hasil yang diperoleh relatif tidak sesuai dengan biaya dan tenaga yang
dikeluarkan oleh pemerintah. Kegiatan ini
biasanya berupa proyek pemerintah seperti dari Kementerian Kelautan dan Perikanan maupun Kementerian Kehutanan bahkan dari Pemerintah Daerah setempat (Indrawadi, 2006).
Khiatuddin
(2003) mengatakan bahwa umumnya lahan yang berpotensi dilakukan rehabilitasi,
restorasi dan pengelolaan hutan mangrove adalah milik negara, milik semua
orang, seperti kawasan pantai, muara dan bantaran sungai. Melakukan kegiatan
rehabilitasi dan restorasi pada kawasan tersebut tanpa kepemilikan yang jelas,
kecil kemungkinan untuk berhasil. Selanjutnya penanaman mangrove di lahan milik
pribadi akan lebih besar kemungkinan untuk berhasil bila adanya kesadaran
pemilik lahan untuk menanamnya dengan insentif ekonomi yang jelas.
Kegiatan
rehabilitasi maupun restorasi serta pengelolaan hutan mangrove, baik yang
bersifat keproyekan maupun menggunakan pendekatan berbasis masyarakat dengan
melibatkan partisipasi aktif masyarakat tetap saja berujung pada tuntutan
ekonomi oleh masyarakat di sekitar kawasan pengelolaan. Kenyataan yang terjadi
pada program-program pengelolaan hutan mangrove selama ini terutama di Riau,
meskipun manfaat ekonomi diperoleh, masyarakat yang terlibat dalam rehabilitasi
maupun restorasi serta pengelolaan hutan mangrove, tetap saja berkeinginan
untuk memperoleh manfaat langsung dari keberadaan sumberdaya mangrove yang ada
dan tetap melakukan upaya eksploitasi terhadap sumberdaya mangrove tersebut,
terutama pemanfaatan kayu mangrove untuk pemenuhan kebutuhan bahan baku arang
maupun untuk cerocok/pancang.
Selain itu,
pada program-program yang menggunakan pendekatan berbasis masyarakat, pengenalan
dan ujicoba (demplot) manfaat ekonomi
secara tidak langsung dari keberadaan sumberdaya mangrove (yang dikatakan mampu
mempertahankan kelestarian sumberdaya hutan mangrove) kerapkali tetap dilakukan
dalam program. Manfaat ekonomi secara tidak langsung seperti budidaya perikanan
ramah lingkungan, mangrove sebagai bahan pangan, ternak lebah madu, hasil-hasil
perikanan dalam hutan mangrove dan sebagainya. Pada saat masyarakat dituntut
untuk melakukan upaya konservasi dan pengelolaan, masyarakat tetap menuntut
insentif sebagai balas jasa atas peran yang dilakukan.
Besarnya tuntutan
pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat di sekitar hutan mangrove dan tingginya
permintaan kayu mangrove, meningkatkan kegiatan pemanfaatan terhadap hutan
manrove yang pada akhirnya menjadi pokok persoalan terjadinya kerusakan hutan
mangrove. Dengan demikian, rumusan masalah yang diutarakan adalah
bagaimana cara pemulihan
dan pelestarian mangrove
dapat berjalan dengan baik dan
berkelanjutan dengan atau tanpa adanya program khusus pengelolaan hutan mangrove
seiring dengan pemenuhan kebutuhan ekonomi masyarakat dari keberadaan sumberdaya
mangrove tersebut.
II. MANGROVE SEBAGAI SUMBERDAYA MILIK UMUM
2.1. Definisi,
Jenis, Sifat dan Tipe Mangrove
2.1.1. Definisi
Mangrove
Istilah mangrove berasal dari kata mangro yaitu nama yang biasa digunakan
untuk tumbuhan Rhizophora mangle di
Suriname (Karsten dalam Suhaima, 2010). Menurut Macnae (dalam
Suhaima, 2010), kata mangrove merupakan
perpaduan antara kata mangal dari
bahasa Portugis dan kata grove dari
bahasa Inggris. Dalam bahasa Portugis, kata mangrove
dipergunakan untuk individu jenis tumbuhan dan kata mangal untuk komunitas hutan yang terdiri atas individu‑individu
jenis mangrove tersebut. Dalam bahasa Inggris, kata mangrove dipergunakan baik untuk komunitas pohon‑pohon atau rumput‑rumput
maupun semak belukar yang tumbuh di laut maupun untuk individu jenis tumbuhan
lain yang berasosiasi dengannya. Macnae (dalam
Suhaima, 2010) menggunakan
kata mangrove untuk jenis‑jenis pohon
atau semak yang tumbuh di antara batas air tertinggi saat pasang naik dan batas
terendah saat surut mendekati rata‑rata permukaan laut, dan menggunakan kata mangal bila berhubungan dengan komunitas
hutan.
Ekosistem mangrove adalah suatu sistem
di alam tempat berlangsungnya kehidupan yang mencerminkan hubungan timbal balik
antara makhluk hidup dengan lingkungannya dan diantara makhluk hidup itu
sendiri, terdapat pada wilayah pesisir, terpengaruh pasang/surut air laut, dan didominasi oleh
spesies pohon atau semak yang khas dan mampu tumbuh dalam perairan asin/payau
(Rochana dalam Kartaharja, 2011). Ekosistem mangrove digambarkan
sebagai ekosistem yang berada di wilayah pesisir dengan dominasi pohon dan
semah. Begitu pula yang dikemukakan Nybakken (dalam Kartaharja,
2011) bahwa ekosistem mangrove adalah sebutan umum yang digunakan untuk menggambarkan suatu varietas
dari komunitas pantai tropik yang didominasi oleh beberapa spesies pohon-pohon
yang khas atau semak-semak yang mempunyai kemampuan untuk tumbuh dan bertahan hidup.
Hutan mangrove dikenal sebagai hutan
yang unik dan rumit, karena di samping tumbuhnya pada daerah peralihan antara
laut dan darat, juga di dalamnya terdapat berbagai macam kehidupan biota yang
saling membutuhkan dalam berbagai segi kehidupan. Mangove dikenal sebagai hutan
yang paling dinamik, karena apabila
menempati daerah yang cocok, maka akan tumbuh dan berkembang mengikuti
perkembangan substratnya.
2.1.2. Jenis-jenis
Mangrove
Hutan mangrove
meliputi pohon‑pohonan dan semak yang terdiri atas 12 genera tumbuhan berbunga (Avicennia, Soneneratia, Rhizophora,
Bruguiera, Ceriops, Xylocarpus, Lumnitzera, Laguncularia, Aegiceras,
Aegiatilis, Snaeda dan Canocarpus) yang
termasuk dalam delapan famili (Macnae dalam
Suhaima, 2010).
Menurut Bengen
(dalam Suhaima, 2010), vegetasi hutan
mangrove di Indonesia memiliki keanekaragaman jenis yang tinggi, dengan jumlah
jenis tercatat sebanyak 202 jenis yang terdiri atas 89 jenis pohon, 5 jenis
palem, 19 jenis liana, 44 jenis epifit dan 1 jenis sikas. Namun demikian hanya
terdapat kurang lebih 47 jenis tumbuhan yang spesifik hutan mangrove. Paling
tidak di dalam hutan mangrove terdapat salah satu jenis tumbuhan sejati
penting/dominan yang termasuk ke dalam empat famili yaitu: Rhizophoracea (Rhizophora,
Bruguiera dan Ceriops), Sonneratiaceae (Soneneratia), Avicenniaceae
(Avicennia) dan Meliaceae (Xylocarpus).
Mangrove merupakan suatu kelompok
ekologis dari spesies halofitik, terdiri dari 8 famili dan 12 genera. Di
Indonesia genera yang termasuk halofitik adalah Avicennia, Lumnitzera, Xylocarpus, Rhizophora, Bruguiera dan
Aegiceras. Kelompok tumbuhan tersebut
di atas adalah tumbuhan yang menentukan ciri dari hutan mangrove menurut
sebaran dan merupakan tumbuhan eksklusif yang sangat terikat pada habitat
mangrove. Hutan mangrove juga dicirikan dengan adanya tumbuhan non-eksklusif
yang tidak terikat, antara lain paku laut (Acrostichum
sp.), waru (Hibiscus tiliaceus dan Thespia
populnea), cantingi (Pemphis acidula)
dan jenis-jenis anggrek (Atmawidjaja
dalam Kartaharja, 2011).
2.1.3. Sifat dan
Tipe Vegetasi Mangrove
Menurut
Knox (dalam Khiatuddin, 2003),
mangrove umumnya tumbuh dengan rimbun dan sering membentuk hutan mangrove di
lahan basah di sekitar muara sungai atau rawa pasang/surut di pinggir laut yang
tenang. Endapan lumpur yang dihanyutkan oleh air dari daratan merupakan substrat
tempat tumbuh yang sangat cocok bagi tanaman ini. Di seluruh dunia ada sekitar
60 spesies tanaman mangrove, 40 spesies diantaranya tumbuh di Asia Tenggara.
Kemampuan berbagai spesies mangrove beradaptasi dengan lingkungan basah
berbeda-beda. Di endapan lumpur yang terendam secara permanen hanya spesies Rhizophora mucronata yang mampu hidup.
Di endapan yang terendam secara periodik ketika air pasang ukuran menengah,
spesies yang mendominasi adalah Avicennia
sp., Sonneratia griffithii dan Rhizophora (di pinggiran air). Di
endapan yang dibanjiri oleh pasang besar normal, semua spesies dapat hidup
tetapi yang mendominasi adalah Rhizophora.
Di alam yang dibanjiri oleh air pasang bulan purnama atau bulan gelap, spesies
yang utama adalah Bruguiera gymnorrhiza,
Bruguiera cylindrica, Ceriops sp. Sementara di lahan yang
hanya dibanjiri oleh air pasang ekuinoks
atau air pasang yang tinggi sekali ketika bersamaan dengan banjir dari hulu,
spesies Bruguiera gymnophora dominan,
dan disertai oleh Rhizophora apiculata
dan Xylocarpus granatum.
Tumbuhan mangrove memiliki kemampuan khusus
untuk beradaptasi dengan kondisi lingkungan ekstrim, seperti kondisi tanah yang
tergenang, kadar garam yang tinggi serta kondisi tanah yang kurang stabil.
Dengan kondisi lingkungan seperti itu, beberapa jenis mangrove mengembangkan
mekanisme yang memungkinkan secara aktif mengeluarkan garam dari jaringan,
sementara yang lainnya mengembangkan sistem akar napas untuk membantu
memperoleh oksigen bagi sistem perakarannya. Dalam hal lain, beberapa jenis
mangrove berkembang dengan buah yang sudah berkecambah sewaktu masih di pohon
induknya (vivipar), seperti Kandelia,
Bruguiera, Ceriops dan Rhizophora
(Noor, et.al., 1999). Kemampuan adaptasi mangrove merupakan bentuk dari sifat
mangrove yang menentukan tipe vegetasi mangrove di suatu wilayah.
Khiatuddin (2003) mengemukakan bahwa mangrove adalah merupakan
tanaman yang mampu beradaptasi dengan baik dalam lingkungan air, bahkan dalam
air yang mengandung kadar garam yang tinggi seperti air payau atau asin, yang
bagi kebanyakan tanaman lain berbahaya. Beberapa mekanisme fisiologis yang
terjadi pada mangrove menjelaskan kemampuan adaptasi tanaman ini, antara lain
yaitu:
1.
Pembatasan
penyerapan garam (dalam bentuk ion natrium dan klor) ke dalam sel akar serta
percepatan pengeluaran garam melalui kelenjar di daun. Tanaman ini juga mampu
mengakumulasikan garam dalam kulit batang yang mati dan daun yang hampir
rontok.
2.
Kemampuan
hidup dalam endapan lumpur yang bersifat anaerob berkat adanya akar yang berada
di atas permukaan tanah atau air dan mampu menyerap oksigen. Akar-akar tersebut
adalah yaitu: 1) akar penopang yang tumbuh secara menyamping dari batang dan
melengkung menancap ke tanah dengan percabangan yang banyak (bakau jenis Rhizophora); 2) akar udara (pnematofora) yang keluar secara vertikal
dari akar bawah tanah untuk mencapai udara terbuka (jenis Avicennia); 3) akar udara berbentuk lutut yang tumbuh keluar dari
permukaan tanah dan masuk lagi ke dalamnya, sehingga membentuk sudut siku di
atas permukaan tanah (jenis Bruguiera).
3.
Sistem
reproduksi yang memungkinkan biji tumbuh ketika masih berada di pohon induk,
sehingga ketika buah yang berbentuk lonjong tersebut jatuh ke lumpur, biji akan
mempu bersemi dan berakar dalam tempo beberapa jam saja sebelum sempat dihanyutkan
oleh air pasang. Kalau buah jatuh ke air, struktur buah yang ringan akan
membuatnya terapung dan hanyut ke tempat lain.
Bentuk khas dari
akar mangrove menjadi ciri khas tumbuhan ini untuk mampu beradaptasi dalam
lingkungan yang ekstrim, seperti daerah yang memiliki kadar garam yang tinggi
dalam substrat yang bersifat anaerob. Bentuk akar yang berbeda-beda juga
menunjukan kemampuan dalam menyerap oksigen.
Nybakken (dalam
Suhaima,
2010) menyatakan bahwa
tumbuhan mangrove memiliki daya adaptasi yang khas untuk dapat terus hidup di
perairan laut yang dangkal. Daya adaptasi tersebut meliputi hal-hal sebagai
berikut:
1.
Perakaran yang pendek dan melebar luas,
dengan akar penyangga atau tudung akar yang tumbuh dari batang dan dahan,
sehingga menjamin kokohnya batang.
2.
Berdaun
kuat dan mengandung banyak air.
3.
Mempunyai
jaringan internal penyimpan air dan
konsentrasi garam yang tinggi. Beberapa tumbuhan mangrove mempunyai kelenjar
garam yang menolong menjaga keseimbangan osmotik dengan mengeluarkan garam.
Vegetasi hutan
mangrove umumnya terdiri dari jenis‑jenis yang selalu hijau (evergreen plant) dari beberapa famili.
Menurut Dewanti et.al. (dalam Suhaima, 2010), hutan mangrove
dapat meliputi beberapa jenis tanaman seperti Avicennia, Rhizophora, Cerlops, Bruguiera, Xylocarpus, Acantus dan Hibiscus.
Untuk adaptasi terhadap kondisi habitat lingkungan yang ekstrim, jenis‑jenis
tersebut mempunyai perakaran yang khusus. Sonneratia
spp, Avicennia spp dan Xylocarpus spp mempunyai akar
horizontal; Bruguiera spp dan Lumnitzera spp berakar tunjang,
sedangkan Ceriops spp akarya terbuka
dan bagian bawah batang mempunyai inti sel yang besar. Kerapatan kanopi
berhubungan erat dengan umur tumbuhan, jenis, dan kerapatan batang pohonnya.
Kerapatan tersebut dapat pula mengindikasikan kondisi baik atau jelek suatu
tegakan hutan mangrove.
Menurut
Supriharyono (dalam Suhaima, 2010),
walaupun tumbuhan mangrove dapat berkembang pada lingkungan yang buruk, tetapi
setiap tumbuhan mangrove mempunyai kemampuan yang berbeda dalam mempertahankan
diri terhadap kondisi lingkungan fisik dan kimia di lingkungannya. Empat faktor
utama yang mempengaruhi penyebaran tumbuhan mangrove, yaitu (1) frekuensi arus
pasang; (2) salinitas tanah; (3) air tanah; dan (4) suhu air. Keempat faktor
tersebut akan menentukan dominasi jenis mangrove yang ada di tempat
bersangkutan.
Menurut Noor et.al. (1999)
menyatakan bahwa mangrove umumnya tumbuh
dalam empat zona, yaitu: 1) mangrove terbuka
yaitu mangrove yang berada pada bagian yang berhadapan dengan laut, dikuasai dari
jenis Avicennia sp. dan Sonneratia sp. yang areal pantainya
sangat tergenang oleh air serta substratnya pasir lumpur yang kaya akan bahan
organik; 2) mangrove tengah
yaitu mangrove yang zonanya terletak di belakang mangrove zona terbuka, banyak didominasi dari
jenis Rhizophora sp. dan Bruguiera sp.; 3) mangrove payau
yaitu mangrove yang berada di sepanjang sungai berair payau hingga hampir tawar, seringkali didominasi oleh
komunitas Nypa sp. dan Sonneratia sp.; dan 4) mangrove daratan
yaitu mangrove yang berada di zona perairan payau atau hampir tawar di belakang
jalur hijau mangrove yang sebenarnya, banyak ditemukan pada
zona ini termasuk Ficus microcarpus (F. retusa), Intsia bijuga, Nypa fruticans, Lumnitzera racemosa, Pandanus sp. dan Xylocarpus moilucensis. Zona mangrove daratan ini memiliki kekayaan
jenis yang lebih tinggi dibandingkan dengan zona lainnya. Meskipun
kelihatannya terdapat zonasi dalam vegetasi mangrove, namun kenyataan di
lapangan tidaklah sesederhana itu. Banyak formasi serta zona vegetasi yang
tumpang tindih dan bercampur serta seringkali struktur dan korelasi yang tampak
di suatu daerah tidak selalu dapat teraplikasikan di
daerah yang lain.
Salah
satu tipe zonasi hutan mangrove di Indonesia menurut Bengen (dalam Kartaharja, 2011) terbagi dalam empat
zona, yaitu: 1) daerah
yang paling dekat dengan laut, dengan substrat agak berpasir, sering ditumbuhi
oleh Avicennia spp. yang biasanya berasosiasi Sonneratia spp.
yang dominan tumbuh pada lumpur dalam yang kaya bahan organik, 2) lebih ke arah
darat hutan mangrove umumnya didominasi oleh Rhizophora spp. dan pada zona ini dijumpai Bruguiera spp. dan Xylocarpus
spp., 3) zona
berikutnya ke arah darat didominasi oleh Bruguiera spp., dan 4) zona transisi antara hutan mangrove dengan
hutan daratan rendah biasanya ditumbuhi oleh Nypa fruticans, dan beberapa spesies lainnya.
Zonasi vegetasi mangrove
berkaitan erat dengan pasang surut. Ada korelasi antara zonasi mangrove dengan
tinggi rendahnya pasang surut dan frekuensi banjir (Steenis dan Chapman dalam Noor et.al., 1999).
2.2. Peran dan Fungsi Hutan Mangrove
Hutan mangrove
merupakan sumberdaya alam daerah tropis yang mempunyai manfaat ganda baik dari
aspek ekonomi maupun ekologi. Besarnya peranan ekosistem hutan mangrove bagi
kehidupan dapat diketahui dari banyaknya jenis hewan, baik yang hidup di
perairan, di atas lahan maupun di tajuk-tajuk pohon mangrove atau manusia yang
bergantung pada hutan mangrove tersebut (Naamin dalam Rahmawaty, 2006). Menurut Dahuri (dalam Rahmawaty, 2006), fungsi ekologis hutan mangrove adalah
sebagai berikut: 1) Dalam ekosistem hutan mangrove terjadi mekanisme hubungan
antara ekosistem mangrove dengan jenis-jenis ekosistem lainnya seperti padang
lamun dan terumbu karang, 2) Dengan sistem perakaran yang kokoh, ekosistem
hutan mangrove mempunyai kemampuan meredam gelombang, menahan lumpur dan
melindungi pantai dari abrasi, gelombang pasang dan taufan, 3) Hutan mangrove
yang banyak tumbuh di daerah estuaria juga dapat berfungsi untuk mengurangi
bencana banjir, 4) Hutan mangrove berfungsi sebagai penyerap bahan pencemar (enviromental service), khususnya
bahan-bahan organik, 5) Sebagai penghasil bahan-bahan organik yang merupakan
mata rantai utama dalam jaring-jaring makanan di ekosistem pesisir, serasah
mangrove yang gugur dan jatuh ke dalam air akan menjadi subtrat yang baik bagi
bakteri sekaligus berfungsi membantu proses pembentukan daun-daun tersebut
menjadi detritus. Selanjutnya detritus menjadi bahan makanan bagi hewan pemakan
seperti cacing, udang-udang kecil dan akhirnya hewan-hewan ini akan menjadi
makanan larva ikan, udang, kepiting dan hewan lainnya, 6) Merupakan daerah
asuhan (nursery ground) hewan-hewan
muda (juvenil stage) yang bertumbuh
kembang menjadi hewan-hewan dewasa dan juga merupakan daerah pemijahan (spawning ground) beberapa hewan perairan
seperti udang, ikan dan moluska.
Ekosistem mangrove memiliki banyak fungsi baik secara langsung maupun
tidak langsung bagi kehidupan sekitarnya. Arisandi et.al. (dalam Wijayanti, 2009) mengemukakan
fungsi ekosistem mangrove, yaitu: 1) pemeliharaan keanekaragaman fauna, 2)
tempat pemijahan, 3) habitat penting bagi burung, 4) pencegah banjir, dan 5) bioakumaltor
logam berat.
Mangrove
dapat berfungsi sebagai biofilter serta
agen pengikat dan perangkap polusi.
Mangrove juga merupakan tempat hidup
berbagai jenis gastropoda, ikan, kepiting
pemakan detritus dan bivalva juga
ikan pemakan plankton sehingga mangrove
berfungsi sebagai biofilter alami (Gunarto, 2004).
Dalam tinjauan siklus
biomassa, hutan mangrove memberikan masukan unsur hara terhadap ekosistem air,
menyediakan tempat berlindung dan tempat asuhan bagi anak-anak ikan, tempat
pemijahan, dan lain-lain. Sumber makanan utama bagi organisme air di daerah
mangrove adalah dalam bentuk partikel bahan organik (detritus) yang dihasilkan
dari dekomposisi serasah mangrove (seperti daun, ranting dan bunga). Selama
proses dekomposisi, serasah mangrove berangsur-angsur meningkat kadar
proteinnya dan berfungsi sebagai sumber makanan bagi berbagai organisme pemakan
deposit seperti moluska, kepiting dang cacing polychaeta. Konsumen primer ini menjadi makanan bagi konsumen
tingkat dua, biasanya didominasi oleh ikan-ikan buas berukuran kecil
selanjutnya dimakan oleh juvenil ikan predator besar yang membentuk konsumen
tingkat tiga Singkatnya, hutan mangrove berperan penting dalam menyediakan
habitat bagi aneka ragam
jenis-jenis komoditi penting perikanan baik dalam keseluruhan
maupun sebagian dari siklus hidupnya (Anonim, 2003).
Fungsi
ekologis ekosistem hutan mangrove menjamin terpeliharanya lingkungan fisik,
yaitu perlindungan pantai terhadap pengikisan oleh ombak dan angin, pengendapan
sedimen, pencegahan dan pengendalian intrusi air laut ke wilayah daratan serta
pengendalian dampak pencemaran air laut. Selanjutnya hutan mangrove mampu
menjamin terpeliharanya lingkungan biota, yaitu sebagai tempat berkembang biak
dan berlindung biota perairan seperti ikan, udang, moluska, berbagai jenis
reptil dan jenis-jenis burung serta mamalia. Di samping itu juga hutan mangrove
mampu menjamin terpeliharanya lingkungan hidup daerah di sekitar lokasi,
khususnya iklim mikro. Sementara fungsi sosial dan ekonomi, diantaranya sebagai
sumber mata pencaharian dan produksi berbagai jenis hasil hutan dan hasil hutan
ikutannya, sebagai tempat rekreasi atau wisata alam, dan sebagai objek
pendidikan, pelatihan dan pengembangan ilmu pengetahuan (Dinas Perikanan
Provinsi Jawa Timur dalam Rahmawaty,
2006).
Menurut Arief
(2003), fungsi hutan mangrove dipandang dari aspek ekonomi dapat bermanfaat sebagai sumber penghasil kayu bangunan,
bahan baku pulp dan kertas, kayu bakar, bahan arang, alat tangkap ikan dan
sumber bahan lain seperti tannin dan pewarna. Arang dari jenis Rhizophora spp. mempunyai nilai panas
yang tinggi dan asapnya sedikit. Selanjutnya Naamin (dalam Rahmawaty, 2006) mengemukakan bahwa manfaat ekonomis hutan
mangrove diantaranya terdiri atas hasil berupa kayu (kayu bakar, arang, kayu
konstruksi) dan hasil bukan kayu (hasil hutan ikutan dan pariwisata).
Tutupan vegetasi mangrove secara ekologis dapat
mengurangi kerusakan akibat gelombang laut. Pengalaman dari tragedi gempa bumi
dan tsunami di penghujung tahun 2004, Wibisono et.al. (2006)
mengemukakan bahwa di daerah pantai yang miskin tutupan
vegetasinya, terjangan gelombang
tsunami
mampu mencapai belasan kilometer ke daratan. Sedangkan pantai yang masih memiliki sabuk
hijau (green belt), tingkat kerusakannya relatif
lebih ringan. Kondisi
ini menunjukan bahwa tutupan vegetasi di kawasan pesisir
mampu mengurangi kerusakan akibat
terjangan
gelombang tsunami.
2.3. Nilai
Konservasi Mangrove
Upaya
konservasi terhadap hutan mangrove dimaksudkan untuk menjamin keberlangsungan
fungsi ekologis hutan mangrove dalam menunjang perikehidupan masyarakat, baik
yang berada di sekitar hutan mangrove maupun yang berada di luar kawasan
tersebut. Fungsi ekologis yang diperhatikan adalah fungsi lindung dari hutan
mangrove. Noor et.al. (1999) mengemukakan
bahwa pada kawasan hutan mangrove terdapat kebijakan jalur hijau yang
dimaksudkan sebagai zona perlindungan mangrove yang dipertahankan di sepanjang
pantai dan tidak diperbolehkan untuk ditebang, dikonversi maupun dirusak.
Fungsi jalur hijau pada prinsipnya adalah untuk mempertahankan pantai dari
ancaman erosi serta untuk mempertahankan fungsi mangrove untuk tempat
berkembangbiak dan memijah berbagai jenis hewan yang hidup berasosiasi dengan
hutan mangrove. Ketetapan mengenai konsep jalur hijau sebagai kawasan lindung
melalui Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan
Lindung menggantikan semua peraturan terdahulu tentang jalur hijau.
Noor et.al. (1999) juga
menyebutkan bahwa meskipun secara umum kawasan hutan mangrove Indonesia terwakili melalui sistem
jalur hijau tersebut, terdapat kepentingan untuk memperluas areal kawasan hutan
mangrove dengan tujuan untuk perlindungan terhadap spesies tertentu baik
vegetasi maupun satwa yang berada di kawasan hutan mangrove, terlebih lagi
perlindungan terhadap spesies yang bersifat endemik. Melalui Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1990 mengenai konservasi sumberdaya hayati dan ekosistemnya,
beberapa kawasan yang bersifat khusus untuk kepentingan ekologis tertentu dapat
diusulkan sebagai kawasan konservasi yang dapat berbentuk cagar alam, suaka
margasatwa, maupun daerah perlindungan tertentu lainnya.
Pada
akhirnya fungsi ekologis suatu kawasan hutan mangrove diupayakan dapat tercapai
melalui pengembangan pengelolaan kawasan yang mampu melindungi dan menjaga
kelestarian vegetasi hutan mangrove. Manullang (1999) mengemukakan bahwa dengan
penetapan status sebuah kawasan sebagai kawasan konservasi ternyata tidak
dengan sendirinya habitat
dan keanekaragaman yang berada dalam kawasan tersebut terlindungi dengan baik. Kawasan-kawasan
konservasi di seluruh Indonesia mempunyai masalah-masalah yang mengancam kelestariannya.
Salah satu ancaman terhadap kawasan konservasi berasal dari masyarakat yang hidup di dalam dan
sekitar kawasan
konservasi. Masyarakat
harus memenuhi
berbagai kebutuhan hidup seperti
bahan makanan, pakaian dan bahan bangunan dari dalam kawasan. Selain itu, masyarakat juga membangun kebun dan bahkan membangun permukiman dalam kawasan konservasi tersebut. Terjadi konflik
kepentingan dalam penguasaan sumberdaya alam yang terjadi antara pemerintah dan masyarakat yang sering muncul ke permukaan dalam bentuk persaingan antara kepentingan
pembangunan dan konservasi.
Santosa et.al.
(1998) mengemukakan bahwa dalam rangka melestarikan dan
mengupayakan pemanfaatan sumberdaya alam semestinya dilakukan secara
berkelanjutan sehingga generasi
masa mendatang
berkesempatan mewarisi
sumberdaya alam yang masih baik.
Maka pengelolaan sumber daya alam
ditujukan
pada dua sasaran penting,
yaitu
1)
pemanfaatan atau eksploitasi sumberdaya alam, dan 2) perlindungan atau konservasi.
2.4. Pemanfaatan
Mangrove
Hutan
mangrove sebagai suatu ekosistem yang sangat produktif memberikan
manfaat yang sangat banyak. Manfaat ini dapat diperoleh dari keberadaan kawasan hutan mangrove,
tanaman mangrove dan hewan-hewan yang hidup di hutan mangrove maupun yang
berasosiasi dengannya. Referensi
tertua mengenai pemanfaatan tumbuhan mangrove berasal dari tahun 1230 di Arab,
yakni penggunaan bibit (seedling)
Rhizophora sebagai sumber pangan, getah untuk mengobati sakit mulut, batang tua
untuk kayu bakar, tanin dan pewarna,
serta menghasilkan minuman yang memiliki efek afrodisiak (Bandaranayake dalam Setyawan dan Winarno, 2006).
Upaya
pemanfaatan hutan mangrove ini erat kaitannya dengan nilai ekonomi dan upaya
pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat terutama masyarakat yang bermukim di
sekitar hutan mangrove. Fungsi ekonomi dari hutan mangrove sangat besar
dimanfaatkan oleh masyarakat, baik secara langsung maupun tidak langsung. Arief
(2003) menyatakan bahwa kawasan mangrove merupakan kawasan yang berfungsi
sebagai jembatan antara daratan dan lautan. Kawasan ini harus dilindungi karena
memiliki banyak fungsi dan manfaat bagi manusia. Namun demikian kawasan ini
juga layak untuk diperhatikan dan diprioritaskan untuk menunjang pendapatan
ekonomi bagi masyarakat dan negara.
2.4.1. Pemanfaatan potensi perikanan
Hubungan
mangrove dengan potensi perikanan berkaitan dengan fungsi hutan mangrove
sebagai daerah
asuhan (nursery ground), mencari
makan (feeding ground), pemijahan (spawning ground) berbagai biota perairan
seperti ikan,
molusca dan crustacea (Indra, 2009). Sementara Adiprima (2009) menyebutkan
bahwa mangrove
merupakan tempat hidup berbagai jenis astropoda, kepiting
pemakan detritus, dan bivalvia pemakan plankton sehingga memperkuat fungsi mangrove sebagai biofilter alami. Berbagai jenis ikan baik yang bersifat
herbivora, omnivora maupun karnivora
hidup
mencari makan di sekitar mangrove terutama pada waktu air pasang.
Besarnya potensi
perikanan dalam kaitannya dengan keberadaan hutan mangrove ini, telah dimanfaatkan
banyak masyarakat dengan melakukan penangkapan ikan di sekitar kawasan mangrove
seperti di sepanjang perairan pantai yang memiliki vegetasi mangrove, daerah
muara dan sungai-sungai yang berada di dalam kawasan hutan mangrove. Selain
ikan, masyarakat juga mengambil bermacam jenis siput, lokan dan kepiting dari
kawasan hutan mangrove.
2.4.2. Pemanfaatan potensi kawasan
Kawasan
hutan mangrove
memberikan manfaat sebagai
kawasan untuk membangun tambak-tambak dalam
pemeliharaan
udang dan ikan,
pelabuhan atau dermaga,
industri perikanan, industri
arang, industri kayu dan industri lainnya, permukiman penduduk, galangan kapal dan
taman
rekreasi atau wisata. Puspita
et.al. (2005) mengemukakan bahwa pembangunan tambak untuk pemeliharaan
udang dan ikan sangat tergantung pada karakteristik pasang/surut air laut
terutama untuk tambak-tambak tradisional. Tambak dibangun pada lokasi yang
elevasinya terletak diantara air pasang rata-rata dan air surut rata-rata.
Karakteristik lokasi tersebut berada pada kawasan hutan mangrove. Adiprima
(2009) mengemukakan bahwa masyarakat dapat memanfaatkan
keberadaan hutan mangrove
untuk pengembangan
budidaya tambak bandeng secara silvofishery.
Selain
dimanfaatkan untuk pengembangan tambak, kawasan hutan mangrove yang berada di
wilayah pesisir juga dikembangkan untuk kegiatan pembangunan pada kepentingan lain
berupa reklamasi dan pembangunan kawasan pemukiman. Rorogo (2005) menyatakan
bahwa beberapa wilayah-wilayah pesisir
alami dan kawasan
hutan mangrove di Kota Tanjungpinang juga telah dilakukan reklamasi dan pengembangan kawasan pemukiman. Purnobasuki (2012a) juga menyebutkan bahwa banyak
pembangunan dilakukan dengan memanfaatkan kawasan hutan mangrove seperti
pembangunan industri, dermaga atau pelabuhan dan pengembangan pemukiman.
Adiwijaya (2009) mengemukakan bahwa telah terjadi penurunan luas hutan mangrove
di Kawasan Pantai Timur Surabaya akibat reklamasi lahan mangrove menjadi areal
pertambakan dan pemukiman.
Pemanfaatan
kawasan hutan mangrove lainnya adalah untuk pengembangan ekowisata atau tempat
rekreasi. Menurut Hadinoto (dalam Mukaryanti
dan Saraswati, 2005) bahwa pengembangan ekowisata adalah suatu bentuk kegiatan
pariwisata yang memanfaatkan keaslian lingkungan alam, terjadi interaksi
lingkungan alam dan aktivitas rekreasi, konservasi dan pengembangan serta
antara penduduk dan wisatawan. Kawasan mangrove berpotensi sebagai kawasan
ekowisata, menurut Purnobasuki (2012b) bahwa kawasan ini secara alami adalah
unik, memiliki keaneragaman hayati yang tinggi dan memiliki nilai keindahan
alam serta nilai pendidikan.
2.4.3. Pemanfaatan potensi biomassa
Besarnya
potensi biomassa dipengaruhi oleh kemampuan pohon untuk menyerap karbon dari
lingkungan melalui proses fotosintetis, yang dikenal dengan proses sequestration. Hasil fotosintetis
dikurangi respirasi terakumulasi dalam biomassa pohon. Besarnya biomassa pohon
dapat mempengaruhi nilai kandungan karbon dari pohon (Hilmi dan Sahri, 2007). Menurut
Atmawidjaya
dan Romimohtarto (dalam Kartaharja, 2011), tumbuh-tumbuhan
mangrove dikenal sebagai penghasil kayu untuk bahan bangunan, penghasil bahan kimia (zat pewarna
dan penyamak kulit), penghasil
garam, bahan makanan dan obat-obatan, penghasil gula dan alkohol dari nipah (Nypa fruticans), bahan pengawet tanin
dari batang tengger (Ceriops spp.) dan Nyirih (Xylocarpus
spp.), bahan industri arang, bahan baku kertas (pulp), pupuk dan makanan ternak dan tatal kayu olahan (wood chips) yang diproses secara kimia untuk
produksi kain rayon.
Tumbuhan
mangrove sebagai penghasil bahan makanan, seperti buah dari jenis
Bruguiera gymnorrhiza telah diolah menjadi kue (Mamoribo dalam Arobaya dan Pattiselanno,
2007). Sementara Haryono (dalam Kesemat, 2009) menyebutkan bahwa buah Avicennia alba
(api-api) dapat diolah menjadi keripik, buah Sonneratia
alba (pedada) diolah menjadi sirup dan permen, sementara daun muda dari Acrosticum
aerum (paku
laut) biasanya dijadikan lalapan oleh masyarakat.
Brown
(2007) mengemukakan bahwa MAP-Indonesia telah mengutip, merevisi dan menambah
resep-resep baru perihal berbagai macam resep makanan berbahan baku mangrove
yang sebelumnya telah dikembangkan oleh Yayasan Mangrove. Beberapa jenis
mangrove yang dijadikan aneka resep makanan tersebut diantaranya Avecenia spp. (api-api), Sonneratia caseolaris (pedada), Nypa fruticans (nipah), Bruguiera gymnorrhiza (bakau tumu), Acrosticum aerum
(paku laut) dan Achantus
ebracteatus (jeruju) yang dapat dijadikan aneka macam kue, keripik dan
permen.
Selain buah
dan daun yang sebagian telah dimanfaatkan oleh masyarakat, pemanfaatan potensi
biomassa dari mangrove yang sangat besar adalah kayu, yang dijadikan sebagai arang, kayu bakar,
bahan konstruksi bangunan dan bahan baku perabotan. Jenis kayu mangrove yang digunakan untuk produksi
arang ini diantaranya dari jenis Rhizophoraceae seperti Rhizophora apiculata, Rhizophora mucronata, dan Bruguiera gymnorrhiza. Produk arang ini umumnya dipasarkan ke Malaysia. Sedangkan
untuk dimanfaatkan untuk kayu bakar berupa ranting atau batang yang tidak lurus,
umumnya diperoleh dari hasil samping kayu yang dimanfaatkan untuk kebutuhan kayu
cerocok maupun bahan baku arang. Pemanfaatan seperti ini terjadi di masyarakat
Pulau Bengkalis yang memanfaatkan kayu mangrove sebagai kayu bakar dan
memperjualbelikannya.
Sobari et.al.
(2006) mengemukakan bahwa pemanfaatan langsung ekosistem hutan
mangrove berupa pemanfaatan kayu
untuk
kayu bakar dan kayu
bangunan tetap
dilakukan oleh masyarakat di Kecamatan Barru Kabupaten Barru. Menurut Inoue et.al. (dalam Anwar dan Gunawan, 2006), kayu bakar menjadi sangat penting bagi masyarakat terutama yang hidup di wilayah sekitar hutan mangrove ketika harga bahan bakar minyak melambung tinggi. Meskipun kebutuhan kayu bakar masyarakat untuk memasak
dapat dipasok dari jenis arang, tetapi pada masyarakat yang hidup di kawasan
sekitar hutan mangrove tidak memanfaatkan arang untuk kayu bakar namun memang
dari jenis kayu yang belum dijadikan arang. Jenis yang dimanfaatkan masyarakat
adalah sama dengan yang dimanfaatkan untuk kayu arang yang merupakan kayu bakar berkualitas baik dan sangat
efisien.
Bahan
bangunan yang diperoleh dari kayu mangrove diantaranya untuk tiang penyangga,
untuk cerocok pondasi, dan kusen pintu/jendela. Menurut Inoue et.al. (dalam Anwar dan Gunawan, 2006), kayu mangrove yang
dimanfaatkan masyarakat untuk bahan bangunan diantaranya seperti Rhizophora apiculata, Rhizophora mucronata, dan Bruguiera gymnorrhiza karena batangnya lurus dan
dapat bertahan sampai 50 tahun. Jenis kayu ini hampir sama dengan jenis yang dimanfaatkan untuk produksi
arang. Di sisi lain masyarakat juga menggunakan jenis kayu sesup (Lumnitzera littorea) dan nyirih (Xylocarpus
granatum) untuk
tiang-tiang rumah. Untuk pembuatan kusen pintu atau jendela masyarakat lebih
banyak menggunakan kayu nyirih (Xylocarpus granatum).
Sementara
untuk kebutuhan bahan untuk perahu, masyarakat biasanya menggunakan kayu dari jenis
sesup (Lumnitzera littorea) untuk
gading-gading perahu karena bentuk batang kayu tersebut yang bengkok dan dapat
dibentuk menjadi gading-gading perahu. Terkadang, tidak jarang masyarakat
membentuk kayu tersebut terlebih dahulu di hutan alami, agar kayu tersebut
menjadi bengkok dan dapat digunakan untuk kebutuhan pembuatan gading-gading
perahu. Sedangkan penggunaan
kayu dari mangrove untuk bahan perabotan pada umumnya adalah kayu nyirih (Xylocarpus granatum). Jenis kayu ini
memiliki kualitas yang baik dari tekstur dan warna. Perabotan yang telah dibuat
seperti yang dilakukan masyarakat di Desa Teluk Pambang Kabupaten Bengkalis
berbahan dasar kayu nyirih (Xylocarpus
granatum) diantaranya: meja, kursi, tempat bunga, bingkai gambar dan
lemari.
2.5. Kebijakan
dalam Pemanfaatan Hasil Kayu Hutan Mangrove
Peraturan perundangan yang terkait
dengan pemanfaatan sumberdaya hutan
mangrove
meliputi: Undang-undang No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, Peraturan Pemerintah No. 6 tahun
2007 dan PP No. 3 Tahun 2008 tentang
perubahan
atas PP No. 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta
Pemanfaatan Hutan, Keputusan Presiden No.
32
Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung, Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan No.
309/Kpts-II/1999 tentang Sistem Silvikultur dan daur
Tanaman Pokok Dalam Pengelolaan Hutan Produksi (Anonim, 2008).
Pemberian
izin pemanfaatan (konsesi) terhadap hutan mangrove kepada pengusaha yang telah
dilakukan pemerintah sebelumnya untuk pemanfaatan hasil kayu pada hutan
mangrove didasarkan pada Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2002 tentang Tata
Hutan dan Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan Kawasan Hutan.
Pemanfaatan hasil kayu ini diantaranya untuk kebutuhan pembuatan arang dan juga
untuk kayu tiang pancang (cerocok) seperti yang dilakukan di Kabupaten
Bengkalis. Dalam peraturan tersebut disebutkan bahwa pemanfaatan hutan pada
hutan produksi dilaksanakan dengan menjaga kelestarian dan meningkatkan fungsi
pokoknya dan diberikan dengan jangka waktu dan luasan areal tertentu sesuai
dengan klasifikasi. Pemanfaatan ini diantaranya dapat berupa pemanfaatan hasil
hutan kayu dan pemungutan hasil hutan kayu (Bapedalda Bengkalis, 2003).
Aturan tebang
(sistem penebangan) yang diterapkan dalam kawasan konsesi yang telah diberikan
kepada pengusaha dilakukan dengan pola silvikultur namun tidak secara jelas
menetapkan tata waktu sistem silvikultur. Penebangan dilakukan pada kayu yang
berdiameter lebih dari 10 cm, kemudian dalam setiap hektar kawasan yang
ditebang harus menyisakan 40 pohon indukan dengan diameter sekitar 20 cm (Soetanto
et.al., 1998).
2.6. Penanggulangan
Kerusakan Hutan Mangrove
Kerusakan
hutan mangrove baik yang disebabkan oleh faktor alam maupun faktor manusia
dapat ditanggulangi dengan upaya rehabilitasi, restorasi dan pengelolaan yang
terintegrasi. Fauziah (1998) mengemukakan bahwa bagi hutan mangrove yang telah
mengalami kerusakan, diperlukan usaha rehabilitasi hutan melalui reboisasi yang
dimaksudkan untuk rehabilitasi jenis (spesies) vegetasi mangrove. Selanjutnya
Sharif (2011) menyampaikan bahwa kegiatan
rehabilitasi hutan mangrove dapat menggunakan metode
EMR (Ekological Mangrove Rehabilitation), dalam
artian melakukan rehabilitasi hutan mangrove dengan memperhatikan ekologi
lingkungan sekitarnya. Terdapat enam langkah yang digunakan dalam kegiatan tersebut yaitu: penilaian ekologi, penilaian
hidrologi, penilaian gangguan, perencanaan dan perancangan, pelaksanaan, dan
pengawasan dan perbaikan.
Mangrove Action Project (MAP) Indonesia menerapkan pola restorasi
hidrologi untuk kegiatan rehabilitasi mangrove. Pola ini lebih mengedepankan
pertumbuhan alami mangrove dengan mengatur pola hidrologi normal. Terdapat lima
tahapan dalam kegiatannya, yaitu: memahami autekologi, memahami hidrologi
normal, meneliti perubahan pada lingkungan mangrove, membuat desain program
restorasi hidrologi, melakukan pembibitan dan penanaman jika pada langkah
keempat tidak terjadi pertumbuhan alami (Brown, 2006). Dalam tataran pemerintah, upaya rehabilitasi yang dilakukan,
salah satu diantaranya proyek Gerakan Nasional
Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GNRHL). Kegiatan ini dilakukan oleh suatu bentuk badan usaha
yang melakukan kontrak kerja dengan pemerintah dengan melibatkan masyarakat
sebagai pekerja dan diberikan upah sesuai dengan ketentuan anggaran proyek yang
bersumber dari APBN. Di tingkat pemerintah daerah (provinsi dan kabupaten/kota)
juga menyelenggarakan kegiatan rehabilitasi dengan pola yang sama (kontraktual)
dan telah dilakukan di hampir semua daerah. Dalam penerapan pola ini, tanggung
jawab keberhasilan proyek berada pada badan usaha penyedia jasa (kontraktor)
bukan masyarakat yang dilibatkan (Kesemat, 2007a).
Upaya rehabilitasi dan restorasi yang dilakukan seperti EMR dan
restorasi hidrologi banyak dikembangkan oleh lembaga swadaya masyarakat dengan
pola pengelolaan berbasis masyarakat. Sementara proyek-proyek rehabilitasi yang
dikembangkan pemerintah lebih sering digunakan pola kontraktual melalui
perusahaan penyedia jasa (kontraktor). Penerapan pola pengelolaan kegiatan
(proyek) juga mempengaruhi tingkat keberhasilan proyek dalam jangka panjang.
III. ANCAMAN KERUSAKAN HUTAN MANGROVE
Mangrove
merupakan salah satu sumberdaya yang dapat pulih (reneweble) akan tetapi sumberdaya ini rentan terhadap ancaman
kerusakan. Berbagai kerusakan
mangrove disebabkan oleh dua faktor utama, yaitu faktor alam dan faktor
manusia. Sekalipun demikian faktor utama kerusakan mangrove adalah karena
faktor manusia, seperti aktivitas produksi, eksploitasi, atau aktivitas non‑produksi
seperti polusi dari limbah rumah tangga atau limbah industri (Fauzi dalam Suhaima, 2010). Begitu juga
dikemukakan oleh Kusmana (dalam
Suhaima, 2010) menyebutkan bahwa kerusakan ekosistem mangrove terjadi karena
pengaruh dua faktor, yaitu faktor alam dan faktor manusia. Dari faktor alam,
kerusakan tersebut dapat terjadi melalui pengaruh proses sedimentasi maupun
kenaikan permukaan air laut. Namun dari faktor manusia, kerusakan yang terjadi
merupakan akibat perilaku manusia itu sendiri berupa eksploitasi hutan mangrove
yang tidak terkendali serta pencemaran di perairan estuaria tempat lokasi
tumbuhnya mangrove.
Sedangkan
menurut Kementerian Negara Lingkungan Hidup (2008) menyebutkan bahwa ancaman
kerusakan terhadap mangrove dapat disebabkan oleh: 1) cara pengelolaan yang
pada umumnya kurang mendapat perhatian pemerintah, swasta dan masyarakat, 2)
pesatnya pembangunan di bidang lainnya yang mempersempit luasan mangrove
seperti pemukiman, pertambakan, reklamasi, pelabuhan dan perindustrian, 3)
pencemaran limbah domestik dan bahan pencemar lainnya, dan 4) perusakan akibat
penebangan kayu mangrove dan pengambilan satwa liar lainnya di kawasan
mangrove.
3.1.
Ketidakberhasilan Rehabilitasi dan
Restorasi
Hutan
mangrove sebagai
penghasil kayu, sangat sering dimanfaatkan secara langsung oleh
masyarakat diantaranya untuk arang, kayu bakar, bahan konstruksi bangunan dan
bahan perabotan menjadikan tingkat pemanfaatan yang berlebihan dan kurang
terkendali. Pemanfaatan ini seringkali tanpa diikuti tindakan rehabilitasi dan
restorasi oleh masyarakat itu sendiri, atau bahkan pemanfaatan lebih besar dari
pada tindakan rehabilitasi dan restorasi.
Terlebih-lebih
lagi bahwa upaya rehabilitasi dan restorasi kawasan mangrove yang rusak
mengalami kegagalan. Kondisi seperti ini memberikan ancaman yang serius
terhadap keberlangsungan kelestarian hutan mangrove. Menurut PKSPL Universitas Riau (dalam Priyanto et.al., 2006), kerusakan
yang terjadi selama ini di
Provinsi Riau disebabkan oleh penebangan yang berlebihan untuk pemenuhan kebutuhan
panglong arang maupun kebutuhan bahan bangunan, konversi lahan untuk perluasan
pemukiman, industri, pelabuhan maupun lahan budidaya dan pencemaran perairan.
Kerusakan yang ditimbulkan berdampak pada berkurangnya luasan hutan mangrove,
hilangnya keanekaragaman hayati, menurunnya hasil tangkapan ikan dan terjadinya
abrasi yang menyebabkan berubahnya garis pantai.
Di sisi
lainnya, upaya rehabilitasi dan restorasi dilakukan dalam penanggulangan
kerusakan mangrove di wilayah pantai pada umumnya untuk menangani abrasi.
Selain pengerjaannya hanya sebatas program, juga masyarakat kurang perduli
terhadap program tersebut karena kurang dilibatkan secara aktif sehingga
tingkat pemahaman terhadap arti penting mangrove juga rendah. Tingkat
keberhasilan pada upaya rehabilitasi dan restorasi yang dilakukan tersebut
seringkali sangatlah kecil. Kenyataan yang terjadi di lapangan atas sumberdaya
milik umum tersebut adalah bahwa eksploitasi dapat dilakukan oleh siapa saja
akan tetapi penanggulangan dan upaya pemulihan tidak menjadi tanggung jawab
bersama. Khiatuddin (2003) mengatakan bahwa umumnya lahan yang berpotensi
dihijaukan dengan tanaman mangrove adalah milik negara, milik semua orang, seperti
kawasan muara sungai. Upaya menghijaukan kawasan tersebut tanpa kepemilikan
yang jelas kecil kemungkinan akan berhasil.
Banyak
program sejenis kurang berhasil dikarenakan program lebih menitikberatkan pada
kepentingan ekologis dan peningkatan sumberdaya perikanan dengan nelayan
sebagai penerima manfaat. Meskipun masyarakat yang dilibatkan untuk melakukan
rehabilitasi dan restorasi biasanya adalah masyarakat yang bermukim di sekitar
kawasan hutan bakau, tetapi paska rehabilitasi dan restorasi, masyarakat tidak
dapat memanfaatkan secara langsung sumberdaya hutan mangrove tersebut.
Kenyataan
lainnya adalah bahwa masyarakat yang terlibat di dalam program rehabilitasi dan
restorasi bukan merupakan masyarakat yang berkepentingan langsung secara
ekonomi terhadap keberadaan hutan mangrove tersebut. Dengan demikian,
ketidakberhasilan upaya rehabilitasi dan restorasi ini semakin mempersempit
peluang keberlanjutan sumberdaya mangrove, sementara tekanan kerusakan terhadap
sumberdaya yang masih ada tetap semakin tinggi baik karena faktor alami maupun
faktor perilaku manusia, terutama dalam pengambilan kayu untuk memenuhi
kebutuhan bahan baku arang dan kayu cerocok/pancang.
3.2.
Ketidakberlanjutan Pola Pengelolaan
Pola
pengelolaan hutan mangrove melalui konsep pengelolaan berbasis masyarakat,
dewasa ini telah banyak dikembangkan. Partisipasi aktif masyarakat dalam
penerapan pola ini sangat tinggi dibutuhkan. Pada pola penerapan pengelolaan
berbasis masyarakat, keterpaduan stakeholder
dan keterpaduan lintas sektoral sangat diperhatikan, dimulai dari tahapan
perencanaan hingga pengawasan berbasis masyarakat, yang dimulai dengan
membangun kesadaran masyarakat itu sendiri. Tetapi pengelolaan terhadap
sumberdaya milik umum, tanpa diberikan kewenangan jelas kepada masyarakat, dan tindakan
fasilitasi dari pemerintah, baik berupa infrastruktur maupun penegakan hukum,
menjadi hambatan keberlanjutan penerapan pola pengelolaan ini. Dalam program
pengelolaan hutan mangrove sebagai sumberdaya milik umum, kepentingan ekologis
lebih dikedepankan dengan kurang memperhatikan kepentingan ekonomi bagi
masyarakat pelaku, tetap menjadi kendala suksesnya keberlanjutan program.
Tindakan
melibatkan masyarakat dalam pengelolaan hutan mangrove memberikan konsekuensi
atas insentif pengelolaan. Seringkali program-program pengelolaan berbasis
masyarakat atas sumberdaya alam dibarengi dengan program mata pencaharian
alternatif (MPA) sebagai insentif bagi masyarakat yang bersedia untuk terlibat
dalam pengelolaan sumberdaya alam. Sebagian masyarakat yang terlibat tidak atas
dasar sukarela atau dengan pemahaman yang sama untuk melindungi dan
melestarikan sumberdaya tersebut, tetapi diselubungi dengan kepentingan ekonomi
terhadap sumberdaya.
Keberlanjutan
program mampu menjamin adanya insentif yang diterima masyarakat, seperti
insentif atas pembibitan dan penanaman atau bahkan pemeliharaan yang berbatas
waktu. Sementara kebutuhan terhadap kayu dari mangrove di tingkat masyarakat
lokal tetap saja masih tinggi terutama di daerah pesisir dengan kondisi tanah
yang labil seperti di sebagian besar daerah di Provinsi Riau. Di samping itu,
peluang untuk menyeludupkan kayu dari mangrove ke negeri tetangga (Malaysia,
misalnya) juga masih tinggi terutama di Kabupaten Bengkalis.
Pertamina
(2011) menyampaikan bahwa PT Pertamina EP Region Jawa Field
Tambun telah melihat
potensi budidaya mangrove yang dapat dikembangkan di sekitar daerah operasinya.
Kegiatan ini dilakukan dengan
melihat peluang
untuk membantu memperluas kesempatan kerja baru sehingga dapat meningkatkan
kemandirian ekonomi masyarakat setempat.
Budidaya
pengembangbiakan bibit mangrove merupakan peluang usaha yang tumbuh dari
peningkatan kesadaran publik akan pentingnya tanaman ini. Banyak pelaku usaha
dan industri menjadi sadar
akan pentingnya konservasi lingkungan melalui budidaya mangrove, sehingga angka
permintaan terhadap bibit mangrove memperlihatkan peningkatan yang signifikan.
Arti penting mangrove terhadap kelestarian lingkungan salah satunya adalah
mencegah abrasi yang semakin memprihatinkan akibat lingkungan yang rusak. Dengan keberhasilan program ini,
telah mengubah cara pandang masyarakat tentang mangrove. Kesadaran tersebut telah membuat
cara pandang baru bahwa bibit mangrove perlu terus dikembangbiakkan karena
merupakan peluang bisnis yang cukup menguntungkan. Keberhasilan yang telah dicapai para
kelompok usaha tani yang dibina Pertamina EP Region Jawa Field Tambun, Dinas
Kelauatan dan Perikanan Kabupaten Bekasi dalam kegiatan “Ayo Tanam Mangrove”
telah memesan 1.000 batang Rhizopora
(bakau) dan pemesanan selanjutnya berupa 1.000 batang Avicennia (api-api) yang masing-masing seharga Rp. 2000 per batang.
Tulisan
dalam artikel tersebut menyampaikan bahwa kegiatan pembibitan sebagai peluang
usaha bagi masyarakat dan berpeluang untuk meningkatkan ekonomi masyarakat
tetap difokuskan untuk penyelamatan lingkungan, dalam artian bahwa sasaran
fungsi ekologis hutan mangrove menjadi sasaran utama dari pasar pembibitan
mangrove. Sepanjang program rehabilitasi dan restorasi untuk penyelamatan
fungsi ekologis hutan mangrove tetap berjalan maka usaha pembibitan tersebut
tetap berlangsung. Masyarakat tetap bisa diarahkan untuk tidak mengeksploitasi
kayu mangrove selama insentif untuk usaha pembibitan tersebut tetap
berlangsung. Pada artikel tersebut terlihat bahwa pasar utama dari usaha yang
dikembangkan masyarakat adalah program-program rehabilitasi dan restorasi yang
dilakukan pemerintah. Jika tidak ada program pemerintah yang sejenis, besar
kemungkinan usaha pembibitan juga akan terhenti, sehingga membuat program tidak
berlanjut. Ketidakberlanjutan pola pengelolaan semakin menjadi ancaman serius
terhadap keberlanjutan sumberdaya hutan mangrove karena pengawasan yang
dilakukan masyarakat semakin melemah, apalagi oleh aparat pemerintah.
IV. UPAYA PELESTARIAN HUTAN MANGROVE
4.1. Faktor
Kendala dalam Pelestarian Hutan Mangrove
Upaya rehabilitasi, restorasi dan pengelolaan dimaksudkan untuk tindakan
pelestarian hutan mangrove. Tekanan terhadap keberadaan hutan mangrove
berlangsung sejalan dengan laju pertumbuhan penduduk, karenanya pengelolaan
mangrove seyogyanya memenuhi persyaratan ekologis, disamping menguntungkan
secara ekonomis serta diterima oleh masyarakat setempat (Irawanti dan Ariawan,
2005). Untuk memenuhi persyaratan ekologis, hutan mangrove perlu dilestarikan
keberadaannya melalui suatu konsep konservasi. Sedangkan untuk memenuhi
kepentingan ekonomi bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat, mangrove perlu
dimanfaatkan secara benar, baik pemanfaatan secara langsung maupun tidak
langsung. Berimbangnya tujuan pemanfaatan untuk memperoleh nilai ekonomi dan
manfaat ekologi dari keberadaan sumberdaya hutan mangrove menjadi sangat
penting untuk menunjang perikehidupan masyarakat di wilayah pesisir.
Namun dalam penerapannya, masih terjadi kegagalan pengembangan
pelestarian hutan mangrove. Beberapa faktor kendala yang yang berpengaruh
terhadap upaya pelestarian hutan mangrove diantaranya kemauan politik
pemerintah, perangkat kelembagaan, perangkat aturan, peran aparat dan penegakan
hukum, partisipasi masyarakat, ketersediaan dana, dan upaya sosialisasi.
1. Kemauan politik pemerintah
Berbagai program yang dilakukan untuk menanggulangi kerusakan mangrove baik
dilakukan oleh pemerintah maupun pihak swasta masih saja kurang efektif untuk
menanggulangi kerusakan dan mewujudkan pelestarian hutan mangrove. Pada aspek
pemerintah sebagai pembuat kebijakan telah menerbitkan berbagai peraturan
perundang-undangan yang memuat tentang upaya pelestarian hutan mangrove. Namun
dalam implementasinya tidak didukung dengan kebijakan program, pelaksana dan
implementasi yang memadai.
Untuk
mewujudkan kondisi pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan hidup yang
berkesinambungan bukanlah merupakan hal yang mudah antara lain karena upaya
pencegahan eksploitasi berlebihan yang mengakibatkan kerusakan lingkungan hidup
terhambat dengan pelaksanaan penegakan hukum yang lemah. Pasaribu (2004)
mengemukakan bahwa pada dasarnya telah banyak peraturan perundang-undangan yang
bertujuan untuk mengatur dan melindungi sumberdaya mangrove melalui cara-cara
pengelolaan yang didasarkan pada prinsip-prinsip kelestarian namun demikian
belum dibarengi dengan pelaksanaan penegakan hukum yang memadai, sehingga dari
waktu ke waktu semakin banyak pelanggaran tanpa adanya upaya penegakan hukum
yang jelas.
Sementara
Akib (2002) menyatakan bahwa penegakan hukum terhadap ketentuan pengelolaan dan
perlindungan mangrove di Pantai Timur Lampung Selatan melalui sarana hukum
administrasi dan hukum pidana masih sangat lemah. Situasi ini terlihat bahwa
belum ada pelaku yang dihukum karena telah melakukan alih fungsi jalur hijau
lahan mangrove untuk pertambakan. Hambatan lain yang dirasakan adalah masih
adanya tumpang tindih kewenangan pengelolaan sumberdaya alam pada sektor-sektor
yang saling berkaitan, serta masih adanya tarik ulur kewenangan antara
pemerintah pusat dan pemerintah daerah.
2. Perangkat kelembagaan
Sering terjadi tumpang
tindih, konflik dan ketidakjelasan kewenangan antara instansi sektoral pusat
dan daerah. Hal tersebut menyebabkan simpang siur tanggung jawab dan prosedur
perizinan untuk kegiatan pembangunan di
wilayah pesisir yang berdampak pada kelestarian hutan mangrove. Pada tataran pemerintah, kelembagaan yang berwenang
bertanggung jawab terhadap pengelolaan hutan mangrove masih belum berjalan
dengan baik. Anonim (2011) menyebutkan bahwa koordinasi pengelolaan serta penjabaran peran dan tanggung
jawab instansi terkait dengan pengelolaan ekosistem mangrove belum berjalan, lemahnya
kerangka kerja kelembagaan (pusat – daerah) yang berwenang dalam pengelolaan
ekosistem mangrove, dan belum ada instansi yang disepakati
untuk diberikan peranan kunci lintas sektoral untuk menjamin keharmonisan dalam
pelaksanaan kegiatan pengelolaan ekosistem mangrove.
Selain kelembagaan di tingkat
pemerintah, kelembagaan di tingkat masyarakat sangat penting berkaitan dengan
pengelolaan yang berkesinambungan terutama dari masyarakat yang berada di
sekitar ekosistem hutan mangrove. Khiatuddin (2003) menyebutkan bahwa
pengembangan pola kelembagaan di masyarakat sangat mungkin diterapkan dalam
pengelolaan hutan mangrove, mengingat aliran biomassa yang dihasilkan secara
kontinue dalam jangka pendek berupa hasil perikanan serta dalam jangka menengah
dan jangka panjang berupa hasil kayu, memungkinkan adanya pendapatan yang
kontinue untuk menopang kehidupan sehari-hari masyarakat. Brown et.al.
(dalam Sonjaya, 2007) menyebutkan
bahwa pada tataran tingakat desa dalam pengelolaan hutan mangrove setidaknya
diperlukan adanya kelompok masyarakat pengelola yang bertanggung jawab terhadap
ekosistem hutan mangrove tingkat desa. Dengan adanya kelompok pengelola mangrove masyarakat,
karena berangkat dari kesadaran dan
semangat swadaya kelompok, maka kegiatan rehabilitasi mangrove tetap terus
berjalan tanpa harus dengan dana yang
berlimpah.
Namun demikian, kelompok masyarakat pengelola hutan mangrove yang ada di
tingkat desa tidak hanya berangkat dari kesadaran dan semangat swadaya kelompok, akan tetapi terdapat juga yang berangkat dari
pemanfaatan peluang proyek yang dikelola pemerintah. Sehingga dalam
pelaksanaannya juga tidak seperti yang diharapkan.
3. Perangkat aturan, peran aparat dan
penegakan hukum
Perangkat aturan kebijakan yang berkaitan dengan pengelolaan mangrove
telah banyak dikeluarkan oleh pemerintah, bahkan ada juga aturan adat dalam
suatu komunitas yang homogen serta peraturan desa. Noor et.al. (1999) menyebutkan setidaknya terdapat 22 (dua puluh dua)
aturan kebijakan berkaitan dengan pengelolaan mangrove yang dikeluarkan
pemerintah yang meliputi undang-undang hingga keputusan presiden.
Peraturan-peraturan tersebut belum termasuk yang dikeluarkan oleh pemerintah
daerah, baik provinsi maupun kabupaten/kota.
Peran aparat dalam optimalisasi penegakan hukum yang berkaitan dengan
pengelolaan hutan mangrove sangatlah penting untuk meminimalisir tindakan
perusakan terhadap ekosistem hutan mangrove. Pertiwi (2010) meyebutkan bahwa
kurangnya kepedulian aparat penegak hukum dalam melakukan pemantauan,
pengawasan dan pengendalian terhadap kawasan hutan mangrove berpengaruh
terhadap tingkat kerusakan hutan mangrove, seperti yang terjadi di Desa
Karanggandu Kecamatan Watulimo Kabupaten Trenggalek.
5. Partisipasi masyarakat
Berdasarkan tahapan-tahapan kegiatan rehabilitasi, salah satu
yang menyebabkan kegagalan
kegiatan rehablitasi adalah pengelola program tidak melibatkan secara langsung kepada masyarakat, mulai dari pembibitan, persemaian dan pemeliharaan, tidak adanya penelitian pendahuluan untuk kesesuaian jenis dan parameter lingkungan, serta tidak dilengkapi infrastruktur
alat penahan ombak (APO) untuk
daerah-daerah dengan karakteristik tertentu. Sebagaimana Abubakar (2006), menyatakan bahwa rehabilitasi hutan mangrove
merupakan suatu kegiatan yang sangat
kompleks untuk dilaksanakan karena kegiatan ini sangat membutuhkan sifat keterlibatan secara partisipatif terhadap segenap pihak
baik yang berada di
sekitar kawasan maupun di luar kawasan. Namun demikian, sifat akomodatif ini akan lebih dirasakan manfaatnya bilamana
keberpihakan kepada masyarakat yang sangat rentan terhadap sumberdaya mangrove diberikan
porsi yang lebih besar.
Upaya rehabilitasi merupakan suatu bentuk pembangunan
dalam pengelolaan hutan mangrove. Menurut Sugiyanto (2010) melibatkan
masyarakat dalam pembangunan merupakan sesuatu yang
sangat penting dan strategis dikarenakan
dalam pembangunan, masyarakat
tidak saja diorientasikan sebagai obyek pembangunan, namun diharapkan menjadi
subyek atau pelaku dalam berbagai kegiatan pembangunan. Banyak program rehabilitasi dan kegiatan pengelolaan yang kurang atau tidak
berhasil dikarenakan pelaksana
program gagal melibatkan masyarakat melalui proses
komunikasi yang efektif berdasarkan konsep partisipatif.
Kesemat (2007a) mengungkapkan bahwa kenyataan yang telah terjadi selama beberapa tahun terakhir dari kegagalan proyek-proyek
penanaman mangrove diakibatkan oleh degradasi moral para oknum masyarakat yang
tak mau melakukan penanaman mangrove apabila tidak diberi upah. Akibatnya, tidak ada inisiatif masyarakat untuk melakukan
pemeliharaan ataupun penyulaman apabila
vegetasi
yang ditanam mengalami kematian. Sikap masyarakat ini dipengaruhi oleh
kebiasaan masyarakat menerima proyek pemerintah yang menggunakan pola
kontraktual pada perusahaan penyedia jasa dalam ukuran volume pekerjaan.
6. Ketersediaan dana
Ketersediaan dana menjadi persoalan yang cukup penting pada upaya
rehabilitasi maupun restorasi suatu kawasan hutan mangrove yang mengalami
kerusakan. Besar kecilnya dana yang mesti disediakan berkaitan dengan sasaran
program dan karakteristik daerah. Seringkali terjadi bahwa dana yang dialokasikan
untuk upaya rehabilitasi maupun restorasi hanya berkisar pada besaran volume
proyek seperti jumlah pohon yang ditanam. Akan tetapi tidak dipandang bahwa
upaya rehabilitasi membutuhkan infrastruktur lain seperti sarana pemecah
gelombang karena karakteristik daerah yang berbeda. Selain itu, dalam konsep
pengelolaan berbasis masyarakat yang melibatkan partisipasi aktif masyarakat
secara berkesinambungan dalam suatu program rehabilitasi mangrove kurang
didukung dengan ketersediaan dana yang cukup untuk menunjang keberlanjutan
program tersebut. Disamping itu, ketersediaan dana untuk pemeliharaan bagi
masyarakat juga kurang tersedia atau bahkan tidak disediakan.
Dana untuk kegiatan rehabilitasi dari pemerintah dialokasikan dari dana
reboisasi. Suhermanto (2004) menyampaikan bahwa dana reboisasi
(DR) merupakan pungutan legal pemerintah yang ditujukan kepada para pengusaha
hutan pemilik HPH dan HTI,
penerimaannya
dari masing-masing provinsi diproyeksikan oleh Departemen Kehutanan. Terlihat
adanya penurunan penerimaan DR (PDR) yang tajam dalam periode lima tahun
terakhir (1998-2002),
sementara belanja reboisasi (BDR) cenderung meningkat. Kebutuhan terhadap
penyaluran DR dirasakan semakin meningkat sehubungan dengan tingginya angka
deforestasi.
Namun, Kusmayadi (dalam Suhermanto, 2004) mensinyalir
penyaluran dana reboisasi tidak
lancar, karena dimasukkannya dana
reboisasi ke dalam
mekanisme APBN, dapat
disampaikan bahwa pada era 1998-2002 terdapat porsi dana yang cukup besar yang
digunakan dari dana reboisasi untuk kegiatan non-reboisasi. Kemudian pada tahun
2003, terdapat belanja reboisasi lebih besar dari pendapatan yang diterima.
7. Kegiatan sosialisasi
Upaya memasyarakatkan gerakan pelestarian hutan mangrove di wilayah
pesisir haruslah tetap dilakukan. Kegiatan ini dimaksudkan untuk menggalang
kepedulian masyarakat, di samping itu perlu juga disosialisasikan pada tataran
pemerintah di lintas sektoral dan badan-badan di lingkungan pemerintah termasuk
badan usaha, swasta, akademisi dan generasi dini serta masyarakat lainnya.
Melalui penggalangan kepedulian ini dimungkinkan untuk mempercepat tingkat
pelestarian dan meminimalisir tingkat kerusakan.
Penyuluhan dan sosialisasi tentang
pentingnya hutan mangrove kepada masyarakat sangat perlu dilakukan, terutama
pada masyarakat yang berdomosili di sekitar kawasan hutan. Suatu hal yang
sangat tidak mungkin, apabila penyelamatan begitu gencar dilakukan sementara
tanpa memperoleh dukungan dari pihak masyarakat terkait. Aksi nyata dalam upaya pelestarian alam seperti gerakan
penanaman sejuta pohon, bina cinta hutan mangrove dan sejenisnya haruslah
disuarakan dimana saja, kapan saja dan oleh siapa saja, termasuk jajaran
guru-guru formal serta pekerja pendidikan non-formal
di seluruh Indonesia. Para pekerja pendidikan non-formal
pun bisa membantu sosialisasi tentang pentingnya pelestarian lingkungan dan
kebencanaan lewat kelompok binaannya (Humasipabi, 2010). Wibowo dan Handayani
(2006) mengemukakan bahwa dalam upaya memasyarakatkan program perhutanan sosial
dalam bentuk mina hutan dengan tujuan pelestarian hutan mangrove perlu
melakukan sosialisasi dalam bentuk tim dengan unsur terpadu yang terdiri dari
Dinas Kehutanan, Dinas Pertanian, Dinas Lingkungan Hidup, Dinas Koperasi, dan
instansi pemerintah terkait lainnya agar terwujud pemahaman yang sama dalam
partisipasi aktif pelestarian hutan mangrove.
4.2. Alternatif
Upaya Pelestarian Hutan Mangrove
Seyogyanya pengembangan dan
pengelolaan kawasan hutan mangrove harus didasarkan atas
azas kelestarian, manfaat dan keterpaduan, dengan tujuan menjamin keberadaan
kawasan ekosistem hutan mangrove dengan luasan yang cukup dan sebaran
proporsional, mengoptimalkan aneka fungsi kawasan, termasuk fungsi konservasi,
fungsi lindung dan fungsi produksi untuk mencapai manfaat lingkungan, sosial
dan ekonomi yang seimbang dan berkelanjutan, mendukung pengembangan kapasitas
dan keberdayaan masyarakat secara partisipatif, berkeadilan dan berwawasan
lingkungan sehingga menciptakan ketahanan
sosial dan ekonomi
(Soemarna, 2010). Untuk
meningkatkan dan melestarikan fungsi ekologis ekosistem hutan mangrove perlu
suatu pendekatan yang rasional di dalam pemanfaatannya dengan melibatkan
masyarakat.
4.2.1. Pengembangan
Hak Kawasan Pengelolaan
Pada
umumnya hutan mangrove berada di kawasan lahan milik negara sehingga dianggap
sebagai lahan milik semua orang (milik umum). Pemahaman di tingkat masyarakat
bahwa sumberdaya pada lahan milik umum tersebut dapat dieksploitasi bersama dan
oleh siapa saja. Akibat dari pemahaman dan kapasitas masyarakat yang relatif
rendah terhadap arti penting sumberdaya milik umum tersebut maka terjadi
kerusakan terhadap sumberdaya tersebut dikarenakan eksploitasi yang berlebihan
terutama dalam memanfaatkan kayu mangrove untuk berbagai kepentingan masyarakat
yang bersifat ekonomi.
Kepentingan
yang mengancam terjadinya degradasi hutan mangrove seperti telah diuraikan
sebelumnya adalah pemanfaatan yang terutama untuk kepentingan bahan baku arang,
kayu bakar, bahan kontruksi/bangunan (kayu cerocok maupun kayu teki) dan
kebutuhan untuk bahan baku perahu nelayan, yang pada dasarnya adalah melakukan
penebangan terhadap hutan mangrove. Dengan demikian, menyikapi kondisi tersebut
dikemukakan langkah sederhana bahwa lahan-lahan milik umum tersebut hendaknya
mampu diberikan hak pengelolaannya kepada suatu komunitas masyarakat yang
terhimpun dalam suatu kelompok atau lembaga bersama yang dilegalkan oleh
pemerintah.
Menurut
Khiatuddin (2003), lembaga bersama ini adalah lembaga yang mewakili kepentingan
seluruh masyarakat yang berdiam di sekitar hutan mangrove. Lembaga ini akan
mengelola dan menjaga sumberdaya alam untuk kemakmuran bersama. Apabila
masyarakat yang berkepentingan terhadap pemanfaatan hutan mangrove tersebut
merupakan suatu komunitas yang homogen (satu suku/etnis), dapat menghidupkan
kembali lembaga adat dari komunitas masyarakat tersebut. Pilihan terhadap
lembaga tradisional ini terikat oleh prinsip kesukuan dan memiliki visi
kebersamaan yang kuat. Akan tetapi bila masyarakat yang berkepentingan terhadap
pemanfaatan hutan mangrove tersebut merupakan suatu komunitas yang heterogen
(telah bercampur antar suku/etnis atau bersifat majemuk) dapat dibentuk lembaga
yang bersifat modern tetapi tetap memiliki visi kebersamaan seperti koperasi,
yayasan, lembaga swadaya masyarakat, kelompok swadaya masyarakat, perusahaan
dengan kepemilikan saham bersama dan sebagainya yang mengelola hutan mangrove
dengan prinsip pelestarian dan membagi hasilnya kepada masyarakat yang
berkepentingan.
Selanjutnya
Khiatuddin (2003) menyebutkan bahwa pengembangan pola kelembagaan di masyarakat
sangat mungkin diterapkan dalam pengelolaan hutan mangrove, mengingat aliran
biomassa yang dihasilkan secara kontinue dalam jangka pendek berupa hasil
perikanan serta dalam jangka menengah dan jangka panjang berupa hasil kayu,
memungkinkan adanya pendapatan yang kontinue untuk menopang kehidupan
sehari-hari masyarakat. Dengan sistem pengelolaan yang terpusat oleh suatu
lembaga, perlindungan terhadap hutan mangrove menjadi lebih mudah dilaksanakan
dan pembagian hasil juga menjadi lebih merata dibandingkan dengan eksploitasi
secara individu. Bila kawasan hutan terlalu luas, hutan dapat dibagi-bagi kepada
beberapa lembaga dengan batas-batas yang jelas yang difasilitasi oleh
pemerintah. Pengelolaan seperti ini tetap dengan sistem pengelolaan yang
terpadu dalam rangka mengeksploitasi ekosistem secara lestari dan
berkesinambungan. Sesuatu yang sangat penting diperhatikan dalam pengelolaan
oleh lembaga bersama adalah upaya mengawasi lembaga tersebut agar dapat
memberikan manfaat ekonomi yang sebesar mungkin kepada masyarakat, dan tetap
menjaga keberlanjutan sumberdaya untuk kepentingan ekologis yang memberikan
jaminan kehidupan bagi masyarakat luas.
Di samping
itu, pemahaman kepentingan ekologi dan ekonomi terhadap sumberdaya tersebut
harus dimiliki oleh lembaga ini, tidak hanya pemahaman kepentingan ekonomi
ataupun ekologi saja. Pengembangan hak kawasan pengelolaan tersebut mampu
mengutamakan kepentingan ekonomi hutan mangrove untuk kesejahteraan masyarakat
melalui pemanfaatan non kayu, seperti penerapan sistem mina hutan dan
ekowisata. Selanjutnya keberlangsungan kawasan jalur hijau (green belt) dan fungsi-fungsi ekologis
hutan mangrove dapat dijaga dan dilestarikan dengan baik.
Perhutani (dalam Soemarna,
2010) menyebutkan bahwa penerapan sistem mina
hutan (sylvofishery) di ekosistem
hutan mangrove merupakan salah satu pendekatan yang tepat dalam pengelolaan ekosistem hutan mangrove secara lestari. Pola pendekatan ini terdiri atas rangkaian kegiatan terpadu antara kegiatan
budidaya ikan dengan kegiatan penanaman, pemeliharaan, pengelolaan dan upaya
pelestarian hutan mangrove. Adanya kerjasama
yang saling menguntungkan antara petani penggarap dan pihak
kehutanan
dimungkinkan dapat mencegah perusakan kawasan
tersebut oleh masyarakat, karena pendekatan sistem mina hutan memberikan alternatif
sumber pendapatan bagi masyarakat di kawasan tersebut.
Di sisi
lainnya pola pendekatan pengembangan ekowisata telah dapat dimungkinkan untuk
memperoleh manfaat ekonomi dengan tetap mempertahankan kondisi kelestarian
hutan mangrove yang ada. Pola ekowisata berbasis masyarakat adalah pola
pengembangan ekowisata yang mendukung dan memungkinkan keterlibatan penuh oleh
masyarakat setempat dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pengelolaan usaha
ekowisata dan segala keuntungan yang diperoleh. Ekowisata berbasis masyarakat
merupakan usaha ekowisata yang menitikberatkan peran aktif komunitas.
Dalam
pengembangan suatu kawasan mangrove menjadi kawasan ekowisata, setidaknya ada
tiga aspek yang mesti diperhatikan yaitu aspek teknik, sosial dan kelembagaan.
Konsep ekowisata akan berjalan jika kawasan tersebut dilakukan konservasi
(Mulyadi et.al, 2009).
Hal
tersebut didasarkan kepada kenyataan bahwa masyarakat memiliki pengetahuan
tentang alam serta budaya yang menjadi potensi dan nilai jual sebagai daya
tarik wisata, sehingga pelibatan masyarakat menjadi mutlak. Pola ekowisata
berbasis masyarakat mengakui hak masyarakat lokal dalam mengelola kegiatan
wisata di kawasan yang dimiliki secara adat ataupun sebagai pengelola.
Ekowisata berbasis masyarakat dapat menciptakan kesempatan kerja bagi
masyarakat setempat, dan mengurangi kemiskinan, melalui penghasilan ekowisata
berupa dari jasa-jasa wisata. Ekowisata membawa dampak positif terhadap
pelestarian lingkungan dan budaya asli setempat yang pada akhirnya diharapkan
mampu menumbuhkan jati diri dan rasa bangga antar penduduk setempat yang tumbuh
akibat peningkatan kegiatan ekowisata (Damayanti dan Handayani, 2003).
Melalui
pengembangan hak kawasan kelola yang diberikan pemerintah kepada masyarakat dapat
memungkinkan upaya pendekatan sistem mina hutan (sylvofishery) dan pengembangan ekowisata diimplementasikan
dengan terarah pada kawasan hutan mangrove untuk memperoleh manfaat ekonomi
yang lebih besar dengan tetap mempertahankan kelestarian sumberdaya hutan
mangrove dan selanjutnya mampu memenuhi kepentingan di masa mendatang, karena
kawasan tersebut dikelola oleh suatu komunitas masyarakat yang terorganisir dan
memiliki pemahaman yang sama dalam upaya pengelolaan hutan mangrove.
4.2.2. Pengembangan
Kebun Mangrove
Pengembangan
daerah penyangga kawasan hutan mangrove yang lebih mementingkan untuk tujuan
pemanfaatan ekonomi seperti hasil kayu dapat dilakukan dengan melakukan
pengembangan kebun mangrove. Pengembangan ini didasarkan bahwa terdapat
lahan-lahan tidak produktif untuk pengembangan ekonomi produktif lain di
sekitar kawasan hutan mangrove yang menjadi lahan milik pribadi masyarakat
setempat, sedangkan kawasan tersebut merupakan kawasan penyangga dari ekosistem
hutan mangrove alami yang ada.
Untuk
kawasan hutan mangrove di Propinsi Riau, dengan karakteristik wilayah yang
landai, masyarakat umumnya telah banyak membuka lahan dan memiliki lahan-lahan
di sekitar kawasan hutan mangrove tersebut. Akan tetapi, sangat banyak pula
lahan-lahan tersebut menjadi lahan terbiar karena gagal dikembangkan untuk usaha
ekonomi produktif seperti kebun karet maupun kebun kelapa bahkan kelapa sawit. Meskipun
pada sisi lainnya bahwa lahan-lahan tersebut tidak memiliki legalitas yang
jelas terhadap status lahan berupa surat keterangan tanah (SKT) dari pemerintah
setempat. Namun status lahan yang dimiliki masyarakat umumnya merupakan
pengakuan masyarakat lainnya di daerah tersebut secara turun temurun.
Potensi
lahan ini sangatlah tepat untuk dikembangkan menjadi kebun mangrove sebagai
upaya restorasi di lahan milik pribadi atau pengembangan di luar hutan mangrove
milik umum atau pengembangan ekonomi di kawasan penyangga. Pembudidayaan
mangrove dapat dilakukan tergantung dari jenis yang dibutuhkan manfaatnya oleh
masyarakat seperti Rhizophora apiculata, Rhizophora mucronata, Bruguiera gymnorrhiza, Xylocarpus granatum, dan Lumnitzera racemosa. Dengan pengembangan mangrove di lahan-lahan dengan
status kepemilikan pribadi, akan mengurangi tekanan terhadap hutan mangrove di
lahan milik umum. Sehingga peluang dan potensi manfaat ekologis dari keberadaan
mangrove di lahan milik umum menjadi lebih besar. Khazali (1999) mengemukakan
bahwa sangat penting mengembangkan penanaman mangrove di luar kawasan hutan
alami untuk mengurangi tingkat kerusakannya dan memperoleh kembali fungsi dan manfaatnya.
Ketakutan sebagian
pihak bahwa pemanfaatan mangrove secara ekonomi adalah tindakan yang
anti-konservasi, tidaklah tepat. Justru dengan adanya budidaya mangrove, maka
spesies mangrove bisa secara sendirinya mampu
terjaga kelestariannya karena jumlahnya bisa ditingkatkan dan diatur oleh
masyarakat sendiri. Selain itu, pembudidayaan mangrove juga akan menghapus
praktek-praktek pembalakan kayu-kayu mangrove
di wilayah pesisir, yang saat ini marak terjadi (Kesemat, 2007b).
Pengembangan budidaya mangrove dengan pola kebun ini dapat dikatakan
sebagai pengembangan dari lahan basah buatan dengan bentuk rawa buatan pesisir
(coastal). Wibowo
et.al.
(dalam Pustita et.al.,
2005) mengatakan bahwa lahan basah buatan (human-made
wetlands) adalah suatu ekosistem lahan
basah
yang terbentuk akibat intervensi manusia, untuk memenuhi berbagai kepentingan
tertentu seperti untuk meningkatkan populasi jenis tanaman tertentu.
Dalam perkembangannya, lahan basah buatan dapat mengalami suksesi sehingga tampak seperti ekosistem
alami. Salah satu
bentuk dari lahan basah buatan adalah rawa. Maltby (dalam Khiatuddin,
2003) menyebutkan
bahwa rawa
adalah kawasan yang terletak di zona peralihan antara daratan yang kering secara permanen
dan perairan yang berair secara
permanen. Sementara Wibowo
et.al.
(dalam Pustita et.al.,
2005) menyebutkan bahwa ekosistem rawa ditandai oleh adanya
genangan air (baik secara musiman
maupun
permanen) dan adanya vegetasi dengan luas penutupan lebih dari 10%. Berkaitan dengan rawa buatan, Hammer (dalam
Puspita et.al.,
2005) mengemukakan bahwa rawa buatan (constructed wetlands) merupakan sebuah komplek rancangan
manusia yang terdiri dari
substrat, tanaman, hewan, dan air yang meniru rawa alami untuk kegunaan dan keuntungan manusia.
Dalam membangun
kebun mangrove sudah semestinya dilakukan dengan meniru kondisi alami tumbuhnya
mangrove, baik substrat, jenis tanaman, dan air serta daerah tumbuhnya yaitu
wilayah pesisir berbentuk rawa. Dengan
pengembangan kebun mangrove di areal lahan milik masyarakat dapat meningkatkan
keberlangsungan mangrove di hutan alami karena tekanan terhadap pemenuhan
kebutuhan kayu mampu dikurangi dari pemanfaatan di hutan alami mangrove yang
ada.
Dengan demikian, pemenuhan kebuhan kayu mangrove untuk kebutuhan arang,
kayu bakar, bahan konstruksi/bangunan, bahan perabotan ataupun kebutuhan
lainnya dari kayu tersebut dapat dipenuhi dari hasil kebun. Dengan pemenuhan
kebutuhan yang dapat berlangsung tersebut dengan baik, yang dipasok dari kayu
hasil budidaya masyarakat, menjadi tetap menghidupkan usaha-usaha di masyarakat
seperti industri arang bakau, kayu cerocok dan perabotan.
Bahkan, tidak tertutup kemungkinan, pemanfaatan buah mangrove untuk
makanan dan daun mangrove untuk pupuk, dapat dikembangkan. Semakin besar luas
kawasan penyangga yang dikembangkan menjadi kebun mangrove, akan semakin
memperkecil tekanan kepada hutan mangrove alami dalam bentuk pengambilan kayu.
Menurut Bismark dan Sawitri (2006), daerah penyangga berperan sangat penting bagi kelestarian kawasan
pelestarian alam sebagai buffer
dalam mengurangi tekanan penduduk terhadap kawasan pada daerah atau desa sekitar
kawasan yang berinteraksi tinggi dengan
memadukan kepentingan konservasi dan perekonomian masyarakat sekitarnya. Fungsi daerah penyangga ini dapat
diwujudkan secara optimal dengan pengelolaan
pemanfaatan jasa lingkungan, nilai ekonomi dan konservasi lahan masyarakat, melalui rehabilitasi lahan kritis dalam
sistem hutan kemasyarakatan, hutan rakyat atau agroforestry. Model pengembangan dan pengelolaannya didasarkan pada aspek ekologi, ekonomi dan sosial
budaya masyarakat sekitar kawasan dalam bentuk
pembagian daerah penyangga ke dalam zonasi. Penentuan zonasi tersebut
terbagi tiga, yaitu jalur hijau, jalur interaksi dan jalur kawasan budidaya. Komposisi jenis tumbuhan yang dikembangkan di
masing-masing jalur disesuaikan dengan jarak dari batas
kawasan, zonasi, dan luas lahan agar tidak berdampak pada kawasan. Pengembangan tanaman pangan, sayuran,
buah-buahan, obat-obatan dan perkayuan dalam sistem agroforestry
mempunyai nilai ekonomis dan ekologis secara terpadu untuk melestarikan sumber
genetika tanaman dan satwa liar serta konservasi
lahan dan air.
DAFTAR PUSTAKA
Abubakar,
M. 2006. Menata Pulau-pulau Kecil Perbatasan: Belajar
dari Kasus Sipadan, Ligitan dan Sebatik. Buku Kompas, Jakarta. 144 hal.
Adiprima,
K.P., 2009. Hubungan Konservasi dengan Pemanfaatan Sumberdaya Ikan (Revitalisasi Perikanan): Konservasi dan Pemanfaatan Mangrove sebagai Pendukung Sumberdaya Hayati Perikanan.
Karya Ilmiah. http://www.scribd.com/doc/55258301/Hubungan-Konservasi-Dengan-Pemanfaatan-Sumberdaya-Ikan, [tanggal akses: 15-02-2012].
Adiwijaya, H., 2009. Kondisi Mangrove Pantai Timur
Surabaya dan Dampaknya terhadap Lingkungan Hidup. Jurnal Ilmiah Teknik Lingkungan 1 (edisi khusus) : 1-14.
_______, 2008. Inventarisasi dan Identifikasi Pemnafaatan
Sumberdaya Hutan Mangrove. Laporan Akhir. Direktorat
Bina Rehabilitasi Hutan dan Lahan, Direktorat Jenderal Rehabilitasi lahan dan
Perhutanan Sosial.
140 hal. (tidak diterbitkan).
Anwar, C. dan H. Gunawan. 2006. Peranan Ekologis dan
Sosial Ekonomis Hutan Mangrove dalam Mendukung Pembangunan Wilayah Pesisir, hal 24-34. Dalam (Eds.). Prosiding Ekspose
Hasil-hasil Penelitian: Konservasi dan Rehabilitasi Sumberdaya Hutan. Padang,
20 September 2006. Pusat Litbang Hutan dan Konservasi Alam,
Bogor.
Arief, A., 2003. Hutan Mangrove: Fungsi dan Manfaatnya. Kanisius,
Yogyakarta. 47 hal.
Arobaya, A.Y.S dan F. Pattiselanno, 2007. Jenis
Tanaman Berguna Bagi Suku Dani di Lembah Baliem, Papua. Jurnal Biota 12 (3) : 193-193.
Bapedalda Bengkalis, 2003. Laporan Utama: Rencana Pengelolaan Hutan
Mangrove di Kabupaten Bengkalis Provinsi Riau. Buku I. Badan Pengendalian
Dampak Lingkungan Hidup Daerah Kabupaten Bengkalis, Bengkalis. 122 hal.
Bismark, M. dan R. Sawitri. 2006. Pengembangan dan Pengelolaan Daerah Penyangga Kawasan Konservasi, hal 1-11. Dalam ? (Eds.). Prosiding Ekspose Hasil-hasil Penelitian:
Konservasi dan Rehabilitasi Sumberdaya Hutan. Padang, 20 September 2006. Pusat Litbang Hutan dan Konservasi Alam, Bogor.
Brown, B., 2006. Petunjuk Teknis Rehabilitasi Hidrologi Mangrove. Mangrove
Action Project Indonesia, Yogyakarta. 48 hal.
_______, 2007. Resep Penganan dari Tumbuhan Mangrove. Mangrove Action
Project Indonesia – PSAP UGM. Yogyakarta. 38 hal.
Damayanti, A dan T. Handayani, 2003. Peluang dan Kendala Pengelolaan
Ekowisata Pesisir Muara Gembong Kabupaten Bekasi. Makalah Disampaikan pada Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) dan Kongres Ikatan
Geografi Indonesia (IGI). Singaraja, 17-18
Oktober 2003. Ikatan Geografi Indonesia. 9 hal. (tidak diterbitkan).
Fauziah, Y., 1998. Prospek Rehabilitasi Hutan Mangrove Pangkalan Batang,
Bengkalis, Riau Ditinjau dari Vegetasi Strata Semai, hal 293-296. Dalam
Soemodiharjo, S., K. Romimohtarto dan Suhardjono (Eds.). Prosiding Seminar VI
Ekosistem Mangrove. Pekanbaru, 15-18 September 1998. MAB Indonesia-LIPI,
Jakarta.
Gunarto, 2004. Konservasi Mangrove sebagai Pendukung Sumber Hayati
Perikanan Pantai. Jurnal Litbang Pertanian 23 (1) : 15-21.
Hilmi, E dan A. Sahri, 2007. Model Pendugaan Biomassa Flora Bakau di
Kabupaten Indragiri Hilir Riau. Makalah Pengajaran PSPK Universitas Soedirman,
Purwokerto, 11 hal. (tidak diterbitkan).
Irawanti, S. dan K.
Ariawan, 2005. Rehabilitasi Mangrove Secara Swadaya: Belajar dari Masyarakat
Sinjai. Info Sosial Ekonomi Kehutanan 5 (2) : 187-196.
Kartaharja, S., 2011. Strategi
Pengembangan Ekoturisme di Kawasan
Ekosistem Hutan Mangrove Desa Teluk Pambang Kecamatan Bantan Kabupaten Bengkalis, Tesis, Program Studi Ilmu Lingkungan Program
Pascasarjana Universitas Riau, Pekanbaru. (tidak diterbitkan).
Kementerian Negara Lingkungan Hidup, 2008. Kumpulan
Peraturan Pengendalian Kerusakan Pesisir dan Laut. Kementerian Negara
Lingkungan Hidup Republik Indonesia, Pusat Pengelolaan Lingkungan Hidup
Regional Sumatera. Pekanbaru. 152 hal.
Khazali,
M., 1999. Panduan
Teknis: Penanaman Mangrove Bersama Masyarakat,
Wetlands International – Indonesia Programme, Bogor, 30 hal.
Khiatuddin, M., 2003. Melestarikan Sumberdaya Air dengan
Teknologi Rawa Buatan, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 253 hal.
Mangrove Information Center, 2003. Pengelolaan Kawasan
Hutan Mangrove yang Berkelanjutan, Makalah pada Seminar Pengelolaan Hutan
Mangrove, Denpasar 8 September 2003, International Soil Reference and
Information Center (ISRIQ), 14 hal. (tidak
diterbitkan).
Manullang, S., 1999. Kesepakatan Konservasi Masyarakat
Dalam Pengelolaan Kawasan Konservasi, Discussion Paper, Natural Resources
Management/EPIQ Program, Jakarta, 22 hal. (tidak diterbitkan).
Mukaryanti dan A. Saraswati, 2005. Pengembangan
Ekowisata sebagai Pendekatan Pengelolaan Sumberdaya Pesisir Berkelanjutan:
Kasus Desa Blendung Kabupaten Pemalang. Jurnal Teknik Lingkungan P3TL-BPPT 6 (2)
: 391-396.
Mulyadi, E., O. Hendriyanto dan N. Fitriani, 2009.
Konservasi Hutan Mangrove sebagai Ekowisata. Jurnal Ilmiah Teknik Lingkungan 1 (edisi khusus) : 51-57.
Noor, Y. S., M. Khazali, dan I. N. N.
Suryadiputra, 1999. Panduan Pengenalan Mangrove di Indonesia, Ditjen PKA dan Wetland International, Bogor, 220 hal.
Priyanto, E., R. Jhonnerie, R.
Firdaus, T. Hidayat dan Miswadi, 2006. Keanekaragaman Hayati dan Struktur
Ekologi Mangrove Dewasa di Kawasan Pesisir Kota Dumai – Provinsi Riau. Jurnal
Biodiversitas 7 (4) : 327-332.
Puspita, L., E. Ratnawati, I N. N.
Suryadiputra, A. A. Meutia, 2005. Lahan Basah
Buatan di Indonesia, Wetlands International – Indonesia Programme, Bogor, 261 hal.
Rahmawaty, 2006. Upaya Pelestarian Mangrove
berdasarkan Pendekatan Masyarakat, Karya Tulis, Departemen Kehutanan Fakultas
Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan, 19 hal. (tidak diterbitkan).
Rorogo, H., 2005. Reklamasi Hutan Mangrove
Sebagai Pengembangan Kawasan Pemukiman Kota dalam Perspektif Pembangunan Berkelanjutan (Studi
Kasus Reklamasi Hutan Mangrove di Kecamatan Bukit Bestari, Kota Tanjungpinang). Tesis. Program Pascasarjana Magister Teknik
Pembangunan Wilayah dan Kota Universitas Diponegoro, Semarang. (tidak diterbitkan). http://eprints.undip.ac.id/5191/1/Rorogo_Hia-1_September_2005.pdf, [tanggal akses: 15-02-2012].
Santosa, M.A., S.N. Sembiring, F. Husbani, A.M. Arif,
F. Ivalerina dan F. Hanif, 1998. Kajian Hukum dan Kebijakan Pengelolaan Kawasan
Konservasi di Indonesia: Menuju Pengembangan Desentralisasi dan Peningkatan
Peranserta Masyarakat. Laporan Penelitian. Indonesian Center for Environmental
Law (ICEL) – Natural Resources Management Program (NRMP), 177 hal. (tidak
diterbitkan).
Santoso, N., 1999. Pengelolaan Hutan
Mangrove oleh Masyarakat Lokal, hal 57-76. Dalam Soemodiharjo,
S., K. Romimohtarto dan Suhardjono (Eds.). Prosiding Seminar VI Ekosistem
Mangrove. Pekanbaru, 15-18 September 1998. MAB Indonesia-LIPI, Jakarta.
Setyawan, A.D. dan K. Winarno, 2006. Pemanfaatan
Langsung Ekosistem Mangrove di Jawa Tengah dan Penggunaan Lahan di Sekitarnya,
Kerusakan dan Upaya Restorasinya. Jurnal Biodiversitas 7 (3) : 282-291.
Sobari, M.P., L. Adrianto dan N. Azis, 2006. Analisis Ekonomi
Alternatif Pengelolaan Ekosistem Mangrove Kecamatan
Barru, Kabupaten Barru. Bulletin
Ekonomi Perikanan 6 (3) : 59-80.
Soetanto, A.G., A. Bchtiar dan
Resvandri, 1998. Pengelolaan Hutan Mangrove oleh HPH dalam Rangka Pemenuhan
Bahan Baku Industri di Provinsi Riau, hal 77-87. Dalam
Soemodiharjo, S., K. Romimohtarto dan Suhardjono (Eds.). Prosiding Seminar VI
Ekosistem Mangrove. Pekanbaru, 15-18 September 1998. MAB Indonesia-LIPI,
Jakarta.
Sonjaya, J.A., 2007. Kebijakan untuk
Mangrove: Mengkaji Kasus dan Merumuskan Kebijakan. Mangrove
Action Project Indonesia. Yogyakarta. 54 hal.
Sugiyanto, 2010. Pelibatan dan Pemberdayaan Masyarakat dalam Program Restorasi Bentang Alam, hal 61-80. Dalam Suwarno, A. dan P. Gunarso (Eds.). Prosiding
Workshop Nasional Peran Restorasi Bentang Alam dalam
Proses Tata Ruang, 21-22 Juli 2010. Tropenbos
International Indonesia Programme dan Universitas Brawijaya, Malang.
Suhaima, H., 2010. Valuasi Ekonomi Sumberdaya Ekosistem Mangrove
di Kecamatan Pasieraja Kabupaten Aceh Selatan, Tesis, Program Studi Ilmu Lingkungan Program
Pascasarjana Universitas Riau, Pekanbaru. (tidak diterbitkan).
Suhermanto, H., 2004. Pengelolaan Dana Reboisasi:
Analisis Kebijakan Sistem dan Prosedur. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional.
Jakarta. 11 hal.
Waryono, T., dan D.E. Yulianto, 2002. Restorasi
Ekologi Hutan Mangrove: Studi Kasus DKI Jakarta. Makalah pada Seminar Nasional
Mangrove, Jakarta 21 Oktober 2002, (?), 11 hal. (tidak
diterbitkan).
Wibisono, I. T.C., E. B. Priyanto dan I. N. N. Suryadiputra, 2006. Panduan
Praktis Rehabilitasi Pantai: Sebuah Pengalaman Merehabilitasi Kawasan Pesisir,
Wetlands International – Indonesia Programme, Bogor, 81 hal.
Wibowo, K. dan T. Handayani, 2006. Pelestarian Hutan Mangrove Melalui
Pendekatan Mina Hutan (Silvofishery).
Jurnal Teknik Lingkungan 7 (3) : 227-233.
Wijayanti, T., 2009. Konservasi Hutan Mangrove sebagai
Wisata Pendidikan. Jurnal Ilmiah Teknik Lingkungan 1 (edisi khusus) : 15-25.